Jalan-Jalan ke Kota Tua


Aku akan selalu merindukannya. Suasana magis masa lalu yang menyeret kenangan entah kapan, menyeruak saat memasuki halamannya. Ada mobil tua yang diparkir di tepi jalan juga pedagang cendra mata yang berjajar di sepanjang jalan. Mekipun tak seindah yang aku bayangkan karena hari itu kesan bersejarah kota tua tertutup oleh perhelatan musik dan ramainya pengunjung. Apakah karena musim liburan? Namun suasana magis masa lalu, menyeretku kembali dalam lamunan. Saat kuedarkan pandangan tampak berjejer sepeda kumbang lengkap dengan topi lebar berenda yang kerap kita jumpai dikenakan noni belanda dalam film-film jaman dulu. Sepeda itu disewakan untuk keliling melintasi kota tua atau sekedar berfoto ria. Aku gembira, rasa mual selama perjalanan menguap seketika.


“Kita sewa sepeda yuk...” aku mengajaknya. Asik juga bisa naik sepeda pake topi dan kalo perlu sambil di foto, batinku.
“Ngga usah, buat apa sih...”
Baiklah, aku harus gembira kan? That's not big deal. Aku berjalan lagi. Melihat kesana kemari. Suasana ramai, dipenuhi celoteh ABG.

“Apa selalu begini? Kok rame, kotor lagi.”
“Biasanya sepi kok dan ngga kotor, mungkin karena ada acara musik. Wah ngga asik.”Serunya Gusar
“Ini wisata kaum intelektual.” Selorohnya dan aku tersenyum saja.

Kami berjalan-jalan lagi, tertawa lagi. Aku buka kamera yang kami bawa. Dasar banci foto, meski malu-malu tetap saja ingin di foto. Untuk kenang-kenangan. Ternyata kami tak beruntung, kamera eror. Wah payah. Aku tidak kehilangan akal.
“Pake HP aja.” Teriakku
Dia masih sibuk membetulkan kamera. Setelah dicoba cukup lama hasilnya tetap sama. Yah...sayang deh. Akhirnya kami memakai HP untuk foto-foto, meski hasilnya kurang maksimal namun masih bisa mengambil gambar.

“Wah view nya ngga bagus, ada tenda sih.”Dia berkomentar

Kami duduk-duduk di depan Musium Fatahilah, di depannya persis ada panggung besar. Aku tidak sempat masuk ke musium. Di halaman ada truk pengangkut peralatan pertunjukan, suasana hiruk pikuk. Kami cuek saja, tetap foto-foto dan bergaya.


Tiba di depan Cafe Batavia rasa haus melanda, aku pesan soda biar tidak ngantuk mengingat jalan pulang masih jauh. Kami minum bersama sambil mengamati bangunan yang sudah tua itu. Jendela-jendela kaca yang lebar dan panjang. Dengan korden berbahan lace putih bermotif bunga menutup setengah badan. Remang-remang lampu berpendar berwarna jingga menegaskan aksen tempo dulu. Dinding kayu dengan cat hijau botol. Suasana sepi tanpa musik.

Hari sudah menjelang malam, kami berniat pulang. Aku hanya sempat melihat Kantor Pos, Cafe Batavia, Musium Keramik, dan Musium Fatahillah. Hari itu tanggal 4 juli, aku berulang tahun yang ke 28. Aku merasa bahagia dengan “hadiah” sederhana ini. Hatiku penuh saat menyadari dia masih saja ada disini -disisiku- dekat sekali.