Percakapan di Udara

“Apa yang kamu rindukan hari ini?”

“Aku ingin menyusuri desa dengan naik sepeda. Seperti adegan film Eat, Pray, Love. Desa seperti di Bali itu loh, yang masih banyak sungai dan pohon. Kita menikmati udara segar pelan-pelan, seperti hanya kita yang bernafas hari itu. Sungguh tak ada yang mengalahkan kedamaian sebuah desa. Akhir-akhir ini aku keluar masuk sebuah desa untuk keperluan riset, itu seperti wisata.”

“Bukankah kamu suka pantai? Kok tidak ke pantai saja, kapan terakhir kamu ke pantai?”

“Sudah lama aku tidak ke pantai, pantai sekarang panas. Membayangkan saja bisa bikin gerah. Aku masih suka pantai, bagiku saat di pantai kita bisa memandag laut yang luas, seperti tak berbatas dan bebas. Aku menyukainya, namun saat ini hawa dingin dan udara segar membuat perasaanku hangat, bagiku itu kesenangan yang lain, kebahagian yang lain. Aku tergila-gila sesuatu yang berwarna hijau, pohon-pohon itu seperti penyelamat. Mereka mendamaikan! Mereka bisa meredakan amarah.”

"Oya...? Segitunya ya..."

“Suatu kali aku berpikir bagaimana jika ruanganmu yang kecil itu, diletakkan sebuah tanaman. Pasti lebih hidup! lebih berwarna. Hmmm...tapi sayang, kamu bukan perawat yang baik, tanaman mawarku dulu mati meranggas gara-gara kamu sering lupa menyiramnya. Kamu menyiksanya!”

"Hmm...jadi malu,kamu ingat itu ya?"

“Tapi begini, aku berpendapat bagaimana jika kamu menganggapnya sebagai teman. Jadi saat pagi, saat kamu minum kopi, anggap saja kalian ngopi bersama. Lalu saat itu kamu pun memberinya minum, kamu menyiraminya. Sederhanakan? Oya...agar dia tumbuh dengan baik, letakkanlah di dekat jendela, sinar matahari akan membuatnya sehat. Tiap kamu minum kopi dan memandang jendela, otomatis kamu melihat tanaman itu, kamu menyapanya dan hatimu berbisik “Hai mari minum bersama.” Hmmmm...kalau kamu, apa yang kamu rindukan sekarang?”

”Aku...Aku cuma pengen ada kamu disini, lalu aku tidak kesepian lagi.”

“Haa...Cuma itu, ayo dong...kamu bisa lebih baik lagi.”

“Mungkin aku akan malas-malasan sambil baca buku di sampingmu, mataku akan selalu tertuju pada buku itu. Seolah kamu tak ada. Seperti kamu ada di tempat yang jauh. Tapi nyatanya kamu dekat sekali. Begitulah, hatiku penuh dan seperti kamu sudah masuk di dalam sini. Lalu aku melihatmu cemberut, karena merasa aku cuekin. Tapi kehadiranmu sudah cukup bagiku, bahkan saat kita tak melakukan apa-apa. Saat kita cuma diam.”

“Waktu itu apa buku yang kamu baca?”

“Hmm, mungkin Thousand Cranes-nya Yasunari Kawabata. Aku khidmat membaca, sementara di luar hujan gerimis. Sempurna sekali. Aku pernah bilang kan, buku Kawabata enaknya dibaca waktu hujan. Dia penulis berbakat, yang pandai menggambarkan perasaan-perasaan.”

“Aku sih, suka hujan karena udara jadi tak panas. Mula-mula jika aku sedikit berusaha soal penghayatan, aku menyukai bau tanah saat hujan pertama. Baunya alami, mengingatkanku pada kampung halaman di masa lalu. Disana banyak rumah berlantai tanah, halaman penuh rumput. Tak seperti sekarang, kebanyakan tertutup paving block. Kedua udara dingin membuat aku tak perlu berkali-kali mandi. Aku akan memakai sweater juga celana panjang berbahan kaos, celana favoritku. Waktu minum teh jadi nikmat. Lalu aku akan bersemangat di dapur, mungkin aku akan masak spaghetti dengan parutan keju ekstra. Tapi ngomong-ngomong kamu tidak boleh minta loh.”

“Ehmm mengapa? kenapa?”

“Anggap saja itu hukuman. Karena cuma sphagetty yang bisa mengalihkanmu dari Kawabata. Hahahahaha... Kenapa sih, suka buku-buku karya orang yang sudah Mati?”

“Kenapa ya? Ah sulit menjawabnya, aku perlu mandi dan memakai baju berkerah, Mungkin juga perlu makan malam dulu. Nah baru, setelah itu aku bisa menjawabnya dengan baik.”

“Hahahhaha...lebay, jawab saja ngga bisa. Bilang saja pertanyaanku terlalu jenius."

“Ah kamu yang lebay sekarang, namun sungguh aku perlu mandi.”*