Warga Menolak Tambang Dihujani Gas Air mata
PADA 20 Oktober lalu, pemerintah kabupaten Kulonprogo mengadakan pertemuan publik perihal proses penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo. Pertemuan itu, digelar di kantor bupati, yang sedianya mengedepankan unsur transparan dan partisipatif ini ternyata terkesan esklusif. Semula ada 25 warga yang diundang, namun entah mengapa mereka tak dijinkan masuk semua, bahkan sebagian diusir.
Jumlah 25 itu sebenarnya belum menunjukkan representasi warga. Akhirnya, warga memutuskan aksi di luar gedung. Ada sekitar 2.000 warga yang turut berpartisipasi. Tak hanya kaum muda, nenek-nenek hingga anak kecil pun turut ambil bagian.
Sekitar pukul 9.25, perwakilan warga memulai orasi, lalu dilanjutkan aksi teaterikal. Sambil barisan merapat ke arah gedung, warga terus melakukan orasi bergantian. Intinya, mereka menolak segala bentuk pertambangan pasir besi di pesisir pantai Kulonprogo. Mereka juga meminta Pemkab Kulonprogo dan pihak PT Jogja Migasa Indonesia (JMI) untuk ke luar menemui peserta aksi. Mereka ingin bicara langsung.
Namun kedua pihak itu tak kunjung ke luar. Hingga masa berinisistif untuk menemui namun dihalangi oleh barikade aparat kepolisian. Aksi saling dorong antara peserta dan aparat tak terhindarkan. Aparat pun melakukan kekerasan dengan memukul peserta aksi. Bahkan ada aksi lempar batu. Menyadari keadaan mulai panas, aparat menyemprotkan gas air mata.
Sepuluh orang terluka dalam aksi tersebut, tiga diantaranya adalah perempuan. Mereka mengalami luka bocor di bagian kepala dan kaki akibat lemparan serta pukulan. Sementara tiga puluh orang lainnya merasa pedih matanya, pusing dan juga mual-mual karena siraman gas air mata .
Menanggapi hal tersebut, LBH Yogyakarta selaku kuasa hukum menolak secara tegas seluruh hasil konsultasi publik tersebut dan meminta kepada pemerintah pusat, dalam hal ini kementrian ESDM, dan pemerintah daerah untuk menghentikan rencana pertambangan pasir besi.
Kami juga meminta Badan Lingkungan Hidup Propinsi Yogyakarta untuk mencabut dan atau mengkaji ulang lisensi komisi penilai AMDAL. Insiden gas air mata dalam konsultasi publik itu menunjukan pemkab Kulonprogo belum cukup mampu memfasilitasi proses tersebut, khususnya mengakomodir rakyat Kulonprogo di dalam proses rencana penyusunan AMDAL. Kami juga mendesak kepada Kapolda Yogyakarta dan Kapolri untuk menghentikan tindakan represif aparat keamanan kepada masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasinya
Mengapa menolak pertambangan?
Penambangan pasir besi ini rencananya menempati lahan seluas 123.601 meter persegi. Ia menyentuh areal wilayah dari enam desa: Banaran, Karangsewu, Bugel, Pleret, Garongan, Karangwuni – dan terletak dalam empat kecamatan: Galur, Panjatan, Wates dan Temon. Lahan-lahan yang hendak dipakai itu merupakan lahan tempat tinggal dan pertanian.
Warga di sekitar lahan ketakutan terhadap aksi paksaan, yang minta mereka meninggalkan rumah.Komnas HAM menyatakan rencana proyek pertambangan pasir besi berpotensi menimbulkan konflik horisontal serta melanggar hak asasi manusia.
Hal itu sebetulnya sudah dimulai. PT JMI mulai melakukan aksi ambil-alih lahan. Warga yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) pun menolak dan melakukan perlawanan. Namun mereka juga mendapat tantangan dari warga sendiri. Mereka kerap diintimidasi, posko paguyuban dirusak dan dibakar, serta mendapat stigma negatif.
Tambang mineral, dalam sejarahnya, menimbulkan banyak masalah. Mulai dari pencemaran lingkungan yang merusak struktur tanah, sehingga lahan bekas tambang itu tak bisa lagi ditanami. Ia juga industri yang rakus air, sehingga berpotensi melalaikan kebutuhan warga setempat terhadap air. Juga pencemaran udara, yang meningkatkan volume debu, sejak dan selama proses penambangan.
Penyakit yang menyerang warga akibat pencemaran juga turut menambah beban warga sekitar pertambangan. Antara lain kanker kulit, gangguan saluran pernapasan, dan ancaman keguguran bagi ibu mengandung.
Dari sudut pandang ekonomi, kegiatan ini tidak membawa keuntungan yang signifikan. Belajar dari sejarah pertambangan di Indonesia, warga sekitar umumnya adalah korban. Warga yang kehilangan lahan pertanian, tempat produksi ekonomi mereka, akan tergantung terhadap bahan pangan dari luar.
Dampak selanjutnya warga kian konsumtif serta mengalami cultural shock. Nilai kearifan lokal pelan-pelan berganti dengan tradisi penambang yang cenderung rawan kekerasan dan sengketa, karena mereka berusaha survive.
Kegiatan pertambangan disebut juga sebagai “korupsi yang tersembunyi.” Ini karena kerusakan lingkungan akibat pertambangan tak ada yang bertanggung-jawab. Setelah usai, penambang akan pergi. Ujung-ujungnya pemerintah maupun warga sekitar lah yang kemudian menanggung bermacam kerusakan itu. [end]
Diterbitkan di Buletin Saksi LBH Yogyakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar