Saya sering batuk kecil-kecil ini sudah lama. Tapi saat mengobrol dengan seorang teman kemarin saya jadi ingat waktu kecil saya pernah batuk berdarah. Saya kedokter di antar ibu lalu sembuh.
Tiba-tiba saya takut kena TBC, penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa, Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam. Darah yang keluar bersama dahak disebabkan ada saraf pembuluh darah di leher pecah.
Saya pun membayangkan kanker serviks. Ibu meninggal di usia muda karena penyakit ini, disamping ada komplikasi dengan jantung dan liver. Penyakitnya berat. Nenek saya juga, meninggal karena mengalami pendarahan hebat di rahimnya, bertahun-tahun. Antara sembuh dan kumat lagi.
Ibu sakit jantung, dengan gejala sering berdebar-debar. Ibu sering khawatir terhadap sesuatu secara berlebihan. Saat ayah pulang malam, ibu selalu menangis. Bukan karena apa-apa, hanya perasaan khawatir. Saat ada saudara ayah atau ibu yang pergi ke tempat jauh, entah itu untuk belajar maupun bekerja. Dia selalu berpesan, jika nanti berangkat tak usah pamit saja. Ini hal yang aneh, tau kenapa? Karena dia sedih dengan perpisahan. Dia bisa sedih dan tak bekerja seharian hanya karena melihat saudara yang pergi jauh berpamitan dengannya. Saya mewarisi sifat ini.
Liver ibu rusak karena sering minum obat kimia, minum obat pereda sakit kepala hampir tiap hari. Saya sering melarangnya namun tak mempan. Saat meninggal badannya menguning pucat.
Dua perempuan ini, Ibu dan Nenek sebelum meninggal memiliki permintaan yang sama. Mereka minta minum air putih banyak sekali. Saya tak menyaksikan keduanya. Saya tak ada disampingnya.
Saat nenek meninggal, ibu baru sebulan melahirkan adik saya. Dia menangis hebat, dengan darah nifas deras keluar. Saya masih kecil. Saya masih SD kelas tiga, saya sedih. Kesedihan anak kecil yang mudah lupa. Air mata saya deras mengalir tanpa suara disamping jenazahnya. Namun habis itu lupa, kesedihan anak kecil. Waktu itu saya hanya sedih melihat ibu menangis hebat, saya butuh dia, namun saya tak mengerti cara menghiburnya.
Sejak kecil saya jauh dengan nenek, dia suka makan sirih dan bibirnya merah. Dia suka memluk dan mencium saya. Namun saya tidak mau dekat-dekat, karena saya takut terkena ludah di bibirnya yang merah.
Setelah nenek tak ada dan saya punya adik, saya jadi mandiri. Ibu dan Ayah sibuk sekali. Mengurusi Toko yang waktu itu sedang berkembang. Aku dan adikku kurang perhatian dan kasih sayang. Kami tumbuh dengan kaku dan sering bertengkar. Kami dibesarkan dengan benda-benda dan uang. Kami tidak pernah tidur dengan dongeng. Komunikasi kami terbatas. Namun aku tahu ibu dekat denganku dengan caranya yang protektif. Dengan caranya mengkhawatirkan saya dan memikirkan setiap kebutuhan saya tanpa saya minta.
Itulah mengapa, kematiannya pernah melumpuhkan saya. Saya tidak lengkap lagi. Saya memang tidak menangis waktu itu, saya ikhlas. Karena merasa dia telah bebas dari rasa sakit. Orang-orang heran, karena saya tidak menangis, padahal ayah pingsan. Namun sebulan setelah itu saya merasakan kehilangan yang sangat. Ada lubang di hati yang dalam sekali. Saya menangis keras. Hingga bertahun-tahun tak menangis hebat lagi. Sejak saat itu saya berjanji tak ingin kehilangan lagi. Tak ingin ditinggalkan lagi oleh orang-orang terdekat. Biarlah saya yang meninggalkannya. Biarlah saya yang mati duluan.
Saya berusaha menjaga hubungan sebaik-baiknya. Saya tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Atau berkata-kata manis. Saya hanya bisa melakukannya dengan tindakan. Karena tak pandai berkata-kata yang menyenangkan. Saya kaku.
Saya sering membayangkan kematian saya. Apakah saya akan mewarisi satu dari penyakit ini? Saya bertanya-tanya.
Saat nanti saya mati, saya tidak berharap ada kesedihan, saya berharap kematian saya direlakan. Saya berharap kepergian saya tak dibahas dan dilupakan begitu saja, seperti aku tak pernah ada.
Orang yang paling beruntung
adalah mereka yang tak pernah dilahirkan
atau mereka yang dilahirkan dan mati muda (puisi SHG)
Tiba-tiba saya ingin membenarkan puisi ini. Saya takut berumur panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar