Hari minggu yang berjalan sendu, dari pagi sudah hujan melulu lalu diakhiri gerimis yang pajang. Langit mendung membuat saya malas keluar. Menjadi manusia kamar seharian pasti membosankan. Hanya membaca buku di temani teh manis, roti, dan coklat. Tadi ada dering sms masuk, seorang teman mengundangku untuk masak bersama di rumahnya yang baru. Sungguh menarik, namun rumahnya jauh sekali butuh tiga puluh menit untuk mencapainya. Jauhkah? Jauh dan dekat tergantung perasaan kita bukan? Kami sudah membuat janji beberapa kali, namun tak kunjung ketemu.
Ceritanya temanku ini punya bayi baru, ah pasti lucu, saya suka bayi. saya merasa belakangan hidupnya penuh warna, dengan kesibukan barunya ini membuat hidupnya seimbang baik publik maupun domestik. Saya pun ingin seperti itu, merasa bahagia berjalan dan bergerak di dua wilayah. Dia belum pernah melahirkan namun, dia membantu merawat bayi sahabatnya yang singgle parent. Lelaki yang seharusnya menjadi ayah si bayi lari entah kemana.
Belakangan saya menemukan banyak cerita dan peristiwa buruk dari orang-orang di sekitar saya, dekat sekali. Saya naif, selama ini saya selalu mengaggap hanya terjadi di luar sana, jauh sekali. Hanya cerita di televisi, gosip, atau hanya kisah seseorang yang kebetulan mampir dalam otak saya yang selalu saya usir – jangan saya, karena saya tidak mau-. Selama ini saya resisten dengan hal-hal buruk. Selalu membayangkan hidup lurus dan teratur, belajar dan berusaha berjalan lurus untuk bahagia. Saya selalu berfikir sesuatu yang kita upayakan dengan baik akan berakhir baik, dan tentu istilah baik ini masih dalam sudut pandang saya.
Dalam perbincangan sambil lalu ini, teman saya bilang bayi ini nanti rencananya akan tinggal bersamanya dan dia yang akan menggantikannya menjadi single parent. “Oh betapa mulianya hatimu.” Respon saya seketika itu. “Ya sekali dalam hidup orang harus memilih peran, dan saya memutuskan itu.” Jawabnya.
Buka matamu! Tajamkan pendengaranmu! Ini hidup!
Suatu hari dia bertanya kepada saya, ingin cari rumah baru. Dia bilang buat si bayi. “Ha?” saya bingung tidak tau maksudnya? Dia meneruskan. “Temanku mau meneruskan kehamilannya. Saya akan tinggal untuk menemaninya.” Saya baru paham. Kami pernah belajar tentang seksualitas, tentang family planning, relationship, juga tentang aborsi. Waktu itu memang hanya sebatas teori, namun sekarang orang-orang di dekat kita mengalami dan kita terpanggil untuk terlibat memberi pemahaman atas pilihan-pilihan itu. Satu sisi merasa bangga terhadap orang yang mau bertanggung jawab dan memilih meneruskan kehamilan. Namun disisi lain tidak ingin mengutuk seseorang yang memilih menghentikan kehamilan dengan aborsi. That’s about choice! Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan seperti usia kehamilan, kondisi kesehatan, juga mental. Banyak kasus yang muncul adalah bukan saat aborsi namun trauma pasca aborsi. Rasa sakit dan perasaan bersalah yang terus menghantui, mimpi buruk, dan sebagainya. kenapa harus perempuan yang menanggungnya? Apakah laki-laki merasa bersalah dalam peristiwa ini?
Who is a man? Who is he? He is someone who make us cry in pain, isn’t he? He is someone who make us happy, Isn’t he. Who is good guy? Who is bad guy? Is he someone like people tell us? Is he someone like your thinking about?
Di kantor banyak kejadian serupa hampir mengisi minggu-minggu kami. Saat ada klien perempuan datang dengan berurai air mata. Tebakan kami selalu benar. Perempuan sebagai korban dari laki-laki yang tak bertanggung jawab. Saya jadi sedikit pusing.
Saya tidak boleh memandang hitam dan putih. Setiap orang memiliki peluang yang sama. Tak ada orang yang benar-benar jahat. Tak ada orang yang benar-benar baik. Karena dunia ini diisi oleh dua hal itu. Baik dan buruk, hitam dan putih, kuat dan lemah, dan sebagainya. Kita tinggal memilih dan menjalani. Kita pernah jatuh, namun kita juga bisa bangkit. Hari ini kita menangis namun siapa tau besok kita tertawa. Hari ini kita bersedekah, siapa tau besok tergoda untuk korupsi. Kita hanya bisa mengendalikan diri kita sendiri, bukan orang lain. Kita adalah pribadi yang otonom.
Ada orang memilih jalan pahit atau jalan “hitam” untuk mempertahankan hidup. Ada orang yang memilih dunia “hitam” untuk menikmati hidup.
Hari ini Samuel Mulia penulis parodi idola saya bilang “It always has to be dark for the stars appear.”
Saya selalu berfikir baik. Teman saya bilang “kamu ini seperti kertas putih. Selalu terkejut dengan peritiwa buruk, diluar sana banyak orang jahat, banyak orang menipu, sadar dong!”
“Tenang kawan, saya mengalaminya, saya telah merasakannya. Saya dibohongi, lucu kan? Tertawa sajalah.”
Saya percaya tak ada yang sempurna, saya pun banyak kurangnya. Mungkin suatu hari saya bersikap buruk kepada seseorang padahal menurut saya baik. Mungkin suatu hari saya bersikap baik kepada seseorang, padahal itu buruk baginya. Oh God, semoga saya selalu mencintai dua hal itu, yang hitam dan yang putih itu dan pertemukanlah aku dengan jiwa-jiwa yang baik hati, yang mendengarkanku kala senang dan sedih, yang menemaniku di waktu baik dan buruk.
Hari ini saya berdoa buat mereka yang selalu menemani saya selama ini. Mereka yang baik kepada saya. Buat mereka yang telah menguji kesabaran saya. Buat mereka yang telah jahat sama saya. Saya tak punya apa-apa, saya tak kehilangan apa-apa. Saya berharap dapat bahagia dengan cara yang baik, tanpa menyakiti dan melukai orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar