Menihilkan Partisipasi Rakyat


Studi Kasus Pengambilan Kebijakan penanganan Gempa di Yogyakarta

Oleh: Astutik


Upaya penerapan otonomi daerah membentuk tata pemerintahan yang bersifat desentralistis। Ini dilakukan untuk mengurangi peran pusat yang terlalu dominan dalam mengatur kebijakan di tingkat daerah. Pemerintah pusat acapkali tidak memahami kondisi daerah. Kebijakan yang bersifat top down banyak menemui kegagalan dalam tahap implementasinya.


Kebijakan top down ini diterapkan cukup lama. Menjadi semacam penyakit kronis dalam kehidupan politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya di negara kepulauan ini, melahirkan sikap feodal di setiap level kebijakan yang nihil partisipasi rakyat. Ia tidak peduli apakah kebijakan itu menyangkut persoalan yang membutuhkan penanganan cepat atau tidak. Dalam kaitan partisipasi publik ini kasus penanganan bencana gempabumi di Yogyakarta adalah contohnya.

Berbicara mengenai good governance menggiring pada suatu niatan atau orientasi untuk melaksanakan fungsi pemerintahan secara efektif, efisien, bersih, transparan, akuntabel, dan partisipatif. Partisipasi masyarakat atau publik dapat mewujud dalam berbagai bentuk. Otonomi daerah ingin menyelesaikan semua persoalan dengan memberikan tanggungjawab dan kewenangan yang semakin besar kepada pemerintah daerah dan semakin membatasi kewenangan pemerintah pusat.

Keterlibatan warga sebagai bentuk partisipasi, setidaknya harus memerhitungkan warga masyarakat sebagai stakeholder yang setara dengan aktor-aktor lainnya dalam perencanaan program pembangunannya. Pandangan tersebut berakar pada asumsi bahwa partisipasi dapat mendorong terbangunnya warganegara yang baik, keputusan-keputusan yang tepat dan hasil akhirnya dapat membangun pemerintahan yang baik pula.
1
Enam bulan penanganan bencana gempabumi di Yogyakarta belum menemukan jalan terang. Kenyataan ini tentu menggugah pertanyaan dari berbagai pihak. Kenapa bisa terjadi? Padahal, merujuk struktur elemen warganya, Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan memiliki banyak sekali ilmuwan, profesor, peneliti, mahasiswa, aktivis, hingga masyarakat yang kritis dan menguasai segala bidang. Namun dalam kasus penanganan bencana ada banyak dari mereka yang tidak memiliki peran yang cukup penting, bahkan hanya untuk ikut merumuskan kebijakannya. Penanganan bencana masih tergolong lamban dengan beragam janji pemerintah yang tak kunjung nyata.
Janji berbuah konflik

Sehari setelah bencana, 28 Mei 2006, Wakil presiden Jusuf Kalla menyatakan janjinya bahwa korban gempa akan mendapatkan living cost atau jatah hidup sebesar Rp 90 ribu/bulan/jiwa selama tiga bulan. Di samping itu korban gempa juga akan memeroleh dana rehabilitasi untuk perbaikan rumah. Perbaikan ini dibagi dalam kategori tingkat kerusakan. Rumah rusak berat atau roboh sebesar Rp 30 juta, sedang sebesar Rp 20 juta, sementara ringan sebesar Rp 10 juta. Pernyataan Kalla ini juga tercantum dalam surat Badan koordinasi Penanganan Bencana Alam Nasional (Bakornas) Nomor 01/PBP/VI/2006 tanggal 1 Juni 2006. Harapan masyarakat semakin tinggi setelah surat ini diikuti instruksi kepada aparatur pemerintah untuk segera melakukan pendataan dari tingkat RT, RW, kelurahan dan kecamatan untuk mendata tingkat kerusakan rumah-rumah korban gempa. Namun, sampai sekarang, kebijakan ini hanya tinggal janji. Rencana pembagian jatah hidup untuk tiga bulan baru terlaksana sebulan. Sementara janji memberikan dana rehabilitasi masih menggantung dan justru berbuah konflik. Pasalnya proses manajemen pendataan menjadi bermasalah. Ini terjadi lantaran banyak rumah korban bencana yang hancur tidak terdata gara-gara mereka di rumah sakit atau mengungsi sebab tempat tinggalnya itu sudah tidak bisa dihuni lagi. Anehnya beberapa penduduk yang kondisi rumahnya masih layak huni dan tidak memenuhi kualifikasi penerima bantuan malah masuk daftar karena memanipulasi data dan menjalin KKN dengan pendata.


Secara psikologis masyarakat yang awalnya tergerak membangun rumahnya secara mandiri terpaksa berubah pikiran karena ada pernyataan Kalla tersebut. Mereka memilih menunggu menerima bantuan. Namun bantuan yang ditungu-tunggu tak kunjung datang.


Pada 3 juli 2006 pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2006 tentang pembentukan Tim koordinasi dan rekonstruksi. Pemerintah menerbitkan aturan itu tanpa ada konsultasi publik. Seolah-olah masyarakat dianggap obyek bencana yang layak diberi peraturan. Bahkan, saat beberapa lembaga swadaya di Yogyakarta mengadakan sarasehan di Kantor Gubernur di Komplek Kepatihan untuk meminta penjelasan juga tidak ada perwakilan dari pemerintah pusat sebagai representasi Jakarta. Padahal mereka sangat diharapkan kehadirannya.


Disusul kemudian pada 17 juli 2006 Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Draft Peraturan Gubernur tentang Petunjuk Operasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi, nomor: 0026.1/062-03.0/-/2006, yang mengacu Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Berdasarkan Draft peraturan ini pembagian dana rekonstruksi akan berdasarkan prioritas keluarga yang rumahnya rusak parah dan keluarga miskin. Jumlah dana sebesar Rp 15 juta untuk pembangunan satu rumah tahan gempa. Rencananya Pemerintah Daerah Jogjakarta akan menerima uang sebesar Rp 749 milyar dari total alokasi dana rehabilitasi dan rekonstruksi Jateng-DIY senilai 1,2 trilyun.


Dalam pertemuan terbatas di Gedung Agung, Istana Kepresidenan di Yogyakarta, dengan perwakilan masyarakat korban gempa, Kalla berdalih bahwa masyarakat salah paham mengartikan besaran bantuan dana rehabilitasi dan rekonstruksi. Menurut Kalla, ini jumlah maksimal yang akan dibagi, jadi tidak setiap korban menerima sebesar itu. Tentu saja pernyataan Kalla tersebut sangat mengecewakan warga.
Kepala Bidang Ciptakarya Dinas kimpraswil DIY Natsir Basuki menjelaskan soal bantuan pemerintah pusat sebesar 749 miliar rupiah. Dana itu untuk pembangunan rumah setengah jadi berupa pondasi, kolom dan atap, sedangkan bagian dinding diserahkan kepada masyarakat sendiri untuk melanjutkan sesuai kemampuan. Sementara itu pihak DPRD DIY, melalui wakil ketuanya Gandung Pardiman, menyatakan pada dasarnya sudah tidak ada kendala lagi dari pihak legislatif untuk segera melakukan proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Namun kenyataan di lapangan di Desa Trimulyo, Jetis, Bantul, sebagian warga masih bingung karena dana bantuan tetsebut belum mereka terima.
2


Kebijakan pembagian bantuan berupa material bangunan ini ternyata menuai protes dari masyarakat. Penolakan warga ini disebabkan karena mereka menilai bantuan tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan korban gempa. Ini terjadi karena rata-rata korban gempa masih bisa memanfaatkan sisa-sisa reruntuhan bangunan seperti batu bata, genteng, rangka kayu dan sebagainya. Warga lebih memilih bantuan tersebut berbentuk uang tunai saja agar bisa membelanjakan sesuai kebutuhan.
Hal lain yang juga mendapat penolakan adalah soal dana pendampingan. Disinyalir dana pendampingan rehabilitasi dan rekonstruksi ini justru menambah pembengkakan anggaran. Masyarakat menilai kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap warga sehingga mereka harus didampingi. Besaran dana pendampingan yang berjumlah Rp 37 miliar ini lebih baik digunakan sebagai anggaran rekonstruksi untuk menambah jumlah penerima bantuan.
3


Pada 26 Agustus 2006, Pemerintah Propinsi mengeluarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 23 Tahun 2006 tentang proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Peraturan ini hanya mengalami sedikit perubahan dari draft awal. Secara substansi ia masih sama: pembagian dana Rp 15 juta, membentuk kelompok masyarakat berjumlah 10 orang, dan dana akan dibagikan dalam dua tahap sebesar 40% kemudian 60% dengan prinsip pembagian berdasar prioritas. Dari segi mekanisme pengoordinasian, aturan dari gubernur ini dinilai kurang aspiratif karena disahkan tanpa partisipasi masyarakat. Para korban gempa sekali lagi dianggap sebagai obyek kebijakan yang mudah sekali diatur, padahal mereka sendiri yang mengalami bencana, mereka juga yang merasakan akibatnya. Namun giliran upaya penanganan, mereka tidak dilibatkan.
Jawa Tengah juga mengalami bencana serupa dan menerima anggaran 30% dari total DIPA 1,2 trilyun, dengan rincian Rp 451 milyar dan dibagi merata Rp 4,3 juta per KK. Sedangkan Yogyakarta, karena jumlah korbannya banyak, mendapat dana sebesar 70% tapi hanya dibagikan 20%. Bedanya lagi jumlah korban yang menerima hanya 47 ribu KK dari total 207 ribu. Kenyataannya penanganan gempa di Jawa Tengah relatif lancar dan selesai dengan cepat. Tidak seperti di Yogyakarta yang masih menyimpan konflik dan pembagiannya yang tidak transparan.


Meski dalam berbagai kesempatan pemerintah propinsi akan memberikan dana rekonstruksi sepenuhnya kepada masyarakat namun ini tidak terbukti. Terbitnya Pergub 23/2006 ini menihilkan pernyataan tersebut. Pembagian dana dilaksanakan dengan prinsip sesuai dengan prioritas. Sedangkan masyarakat menginginkan dibagi rata. Ini menuai polemik. Bahkan karena berbagai kebijakan politis, korban gempa baru mengetahuinya pada 9 September 2006.


Warga korban gempa akhirnya membentuk Forum Korban Bencana. Pada 6 September mereka melakukan aksi, menuntut hak yang sudah dijanjikan, dan mengancam tidak akan mengikuti pemilu jika tidak dipenuhi. Pada 14 september pengurus RT/RW se-Kota Yogyakarta mengancam mengundurkan diri jika kebijakan Pergub tersebut dilaksanakan. Tidak hanya itu, pada 15 September berbagai aktivis LSM di Yogyakarta yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Korban Bencana menyampaikan sikapnya secara resmi yakni menolak total peraturan gubernur tersebut. Aliansi juga menuntut agar dana rekonstruksi segera dibagi secara merata dan serentak.
Ada alasan mendasar mengapa kebijakan gubernur itu layak ditolak, Pertama, ia tidak melibatkan aspirasi masyarakat dan bertentangan dengan UU 10/2004. Kedua, ia memicu konflik horisontal, sebab dengan pembagian berdasar prioritas maka tidak semua warga korban bencana mendapat bantuan sehingga ujungnya bikin kecemburuan di masyarakat dan berbuah konflik. Ketiga, aturan tersebut tidak mengakomodasi warga yang rumahnya mengalami kerusakan ringan dan sedang.
Masalah penanganan bencana di wilayah Yogyakarta tidak hanya terjadi pada level pemerintah daerah dangan masyarakat Yogya sebagai korban gempa. Tetapi juga antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Masalah tersebut adalah komunikasi dan koordinasi.
Sebagai pemimpin tentu tidak bisa seenaknya saja mengobral janji. Ucapannya akan mengandung otoritas. Menurut perspektif hukum administrasi negara berkaitan dengan kebijakan, janji Kalla soal rehabilitasi dan rekonstruksi rumah itu telah melakuan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa (Onrehcmatige Overheidsdaad). Ia telah melakukan kebohonngan publik dengan mengubah-ubah kebijakan.
Didalam penjelasan UU 32/2004 disebutkan bahwa Otonomi Daerah menggunakan prinsip yang seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah yang ditetapkan undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
4 Namun untuk konteks gempa di Yogyakarta ada intervensi pusat yang sangat dominan.
Tiga hari setelah gempa juga sempat terjadi silang pendapat tentang status bencana, apakah bencana nasional atau lokal. Hal ini turut menyumbang kelambatan proses penanganan bencana di Yogyakarta. Karena status ini juga memiliki implikasi proses siapa yang bertanggungjawab dalam pengoordinasian proses recovery, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Kelemahan kebijakan penanganan bencana di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, ini mengandung beberapa masalah. Pertama, kita tidak memiliki payung hukum setingkat UU yang mengatur penanganan bencana di Indonesia. Kedua, tidak ada kejelasan wewenang penanganan bencana antara pemarintah pusat dan daerah. Ketiga, tidak ada kewenangan yang berhak untuk menentukan standar penilaian dan pendataan kerusakan akibat bencana. Dan keempat, tidak jelasnya penggunaan dana untuk pencegahan dan penanganan bencana serta mekanisme pertanggungjawaban dan akuntabilitas publiknya.
Tawaran solusi
Ada beberapa solusi yang bisa dipakai untuk menjawab persoalan di atas. Pertama, harus ada kebijakan penanganan bencana yang komprehensif, partisipatif dan transparan. Dalam hal ini harus ada perangkat Undang-undang yang bisa menjadi payung hukum yang mengatur penanganan bencana yang berlaku secara nasional sehingga proses recovery, rehabilitasi dan rekonstruksi, tidak berjalan parsial, sporadis dan pragmatis.Untuk daerah Yogyakarta harus ada perubahan Pergub 23/2006. Perubahan ini harus memuat aturan antara lain membagi dana bantuan secara merata untuk rumah rusak berat, sedang maupun ringan. Menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar korban bencana seperti tempat tinggal, pangan, sandang, dan kesehatan. Selanjutnya adalah segera memerbaiki fasilitas umum.
Kedua, perlu adanya pemahaman manajemen bencana. Sampai saat ini kita melihat bahwa kebijakan penanganan bencana di Yogyakarta masih memakai pendekatan yang berbasis pemenuhan hak korban (need based approach). Pendekatan ini hanya cocok untuk penanganan jangka pendek saja yakni tanggap darurat atau tahap emergency. Tahap ini harus menyediakan kebutuhan dasar korban seperti kebutuhan makan, minum, pakaian, obat-obatan, tempat tinggal sementara yang layak dan sebagainya. Jika ini diterapkan dalam jangka waktu yang lama, akan memicu masalah baru seperti terganggunya psikologi korban karena terlalu lama tinggal di tenda. Korban bencana harus segera dipindahkan ke tempat tinggal baru, karena itu segeralah membangun rumah. Pendekatan berbasis kebutuhan ini memosisikan korban sebagai obyek. Korban tinggal menerima apa yang menjadi jatah dari pemerintah atau donatur, tidak peduli apakah bantuan ini sesuai sasaran atau tidak.
Selanjutnya ada pendekatan yang mulai diterapkan yakni penanganan bencana berbasis hak (right based approach). Pendekatan ini mengharuskan pemerintah memulihkan hak korban, karena ini dituntut oleh hukum nasional dan internasional. Dengan dukungan sumber daya yang ada, pemerintah harus memaksimalkan perannya. Jika ini tidak dilakukan maka pemerintah telah melanggar hak asasi manusia.
Dilihat dari sudut partisipasi, pendekatan berbasis kebutuhan masyarakat dipandang sebagai syarat yang mencukupkan (sufficient condition) yang dipakai hanya sekadar meningkatkan pelayanan, bukan menjadi syarat yang menentukan. Sedangkan dalam pendekatan berbasis hak, partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dan ini menjadi syarat mutlak bagi pemulihan bencana.
Seharusnya penanganan bencana di Yogyakarta perlu menggunakan pendekatan ini. Di mana terbuka ruang yang lebar untuk masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya berkenaan dengan pembuatan kebijakan penanganan bencana. Kita bisa mudah menemukan akar masalah, selanjutnya menyelesaikannya secara fokus dan komprehensif .❑
1 Juni Thamrin, 2005, Orde partisipasi, Bunga Rampai Partisipasi dan Politik Anggaran, Perkumpulan Prakarsa, hal. 60.
2 Kedaulatan Rakyat, “Bantuan Pembangunan Rumah Sementara Di Bantul, Sebagian Warga Masih Kebingungan”, Kamis, 27 Juli 2006.
3 Kedaulatan Rakyat, “Datangi Pemkab, Minta Bantuan Rekonstruksi Berupa Uang, Warga Tolak Dana Pendampingan”, Minggu, 6 Agustus 2006.
4 Fauzi Ismail, Toto Sugiarto, Kurniawan Desiarto, 2005, Libatkan Rakyat dalam Pengambilan Kebijakan, Forum LSM DIY, hal. 48.



--------------------------------------




* Tulisan ini publikasikan pertama kali dalam buku "Membangun Indonesia dari Daerah" OleH Center for Strategic and International Studies (CSIS). Buku ini berisi kumpulan tulisan peserta Seminar Millenium ke VI yang diselenggarakan CSIS bekerja sama dengan JICA Foundation. Seminar ini diselenggarakan pada tanggal 24 – 30 Januari 2007 di Hotel Via Renata, Cimacan, Jawa Barat.

Tidak ada komentar: