Selasar #3

Tentang teriakan tempo hari dan hari ini
Kamu mendengarnya
Namun dia datang dengan ceria
Membuatmu lupa telah memegang bara

Lalu senja-senja yang kian samar
tenggelam dalam lautan gedung itu
Menenggelamkanmu dalam keriuhan yang fana
Tak ada lagi cakrawala
Tak ada lagi jingga
Jingga yang kamu sukai
karena disanalah lahir sebuah puisi
Cakrawala yang bercerita tentang batas-batas
waktu kepulangan
juga penantian

Semua bergerak cepat sekali
Saling mendahului juga memunggungi
Hingga kamu belajar menjadi asing
"Itu aku sekarang", katamu malu-malu
Benarkah?

Namun teriakan itu terdengar lagi
Teriakan dari masa lalu
Lebih jelas, lebih jelas
Kamu berfikir dejavu
Dialah kekuatan,
yang berjalan menggenggammu
Kesederhanaan yang hangat memelukmu
Kesetiaan dari air mata,
yang kini Menetes
di jari-jarimu yang melepuh

Selasar #2

Kamu masih bertanya-tanya
tentang rembang petang
akankah muncul semburat jingga
di musim hujan
namun siapa yang menolak keajaiban

ketika logika tiba-tiba lelah
doa-doa itu jua yang terjaga
kamu pun mempercayai tanda-tanda

suatu hari
semburat jingga benar-benar ada
terang sekali
sampai ibunda mengingatkan
jangan terlalu lama memandanginya
keindahannya bisa membuatmu buta
hingga lupa jalan pulang

dan kamu berpaling sebentar
melukis wajahnya di udara
memandang wajahnya dalam bayang-bayang

kekosongan dan bisikan
mempermainkanmu
memaksamu berlari menyentuhnya

Selasar #1

Memang tidak mungkin,
saat memikirkannya
ketika kamu menaburkan lagi benih-benih untuk mereka

mungkin saja tidak,
karena kamu berbeda,
hatimu berubah seperti peri
yang tiap pagi menabur kasih ke jalan-jalan itu
lalu mereka mengenalmu
keceriaan yang kamu tularkan
keresahan yang kamu bagikan
hingga ada empati
hingga mereka simpati
bahkan beberapa jatuh hati

musim berganti
Saat gembira, mereka mendekatimu
saat rusuh, mereka pergi meninggalkanmu

namun,
kesepian tetap menderamu
kamu kembali menyapanya
kamu kembali menginginkannya
sambil bertanya,apa aku ini?

Dan disanalah dewa
Dan disanalah setan
bercengkrama mesra

Butuh Berjalan Lagi

Aku menemuimu di waktu pagi di ruangan lembab itu
Sedikit cahaya mendekati gelap, lalu pikiran menuntunku menemukan bayanganmu
yang layu, dengan lingkar mata menghitam dan selembar wajah tirus
Tak ada obsesi,
namun hatiku berdesir saat sepasang bola mata itu menyala
Hei...itu cahaya, apa hanya aku yang melihatnya
Lalu sesuatu terisi
Belajar hal-hal sederhana , melalui perasaan
Hal-hal semakin sulit dijelaskan matematika

Cahaya itu, menyimpan banyak teka-teki
Aku masih berdiri, seolah menunggunya bercerita
yang hari-hari berikutnya melalui matanya
aku lebih banyak menemukan goresan
Yang manis lalu pahit, yang samar lalu jelas
Yang pahit lalu manis, berulang-ulang membentuk dinamika
Melewati musim-musim, ketika ucapan bagai doa-doa yang mengabur di udara
Lalu kata-kata dalam goresan itu, menjadi abadi untuk sementara
Seperti coklat yang meleleh di mulut
atau es krim
semuanya manis, namun cepat habis
kita ingin, ingin lagi
namun tak seketika itu ada
kita butuh berjalan lagi, kita butuh menemukan lagi
bukankah akan selalu begitu, tak ada yang selalu ada
kita butuh berjalan lagi

Rumah kesabaran

Mari bangun rumah itu, rumah yang nanti akan menampung banyak hal. Mari membuka hati untuk mereka yang rindu damai dan kehangatan. Mereka pengungsi yang kedinginan karena rumahnya kebanjiran. Mereka yang jauh datang dari tanah merah, karena disana nyawa tak lagi berharga. Atau anak-anak kecil yang lapar karena jalanan hanya bisa memanggangnya.

Mereka yang ingin berdamai. Mereka yang ingin berbincang. Mari kita dengarkan, mari peluk mereka satu-satu, dengan kasih seolah kita adalah saudara lama.

Mari kita bangun rumah itu. Rumah dengan banyak ruangan-ruangan. Rumah yang akan menampung segala macam warna dan rasa. Sampai kita tidak sadar bahwa sedih dan senang itu berbeda. Sampai kita hanya mengenal bahasa senyum dan tawa tiap hari.

Rumah hati yang kita bangun itu, memiliki ruang-ruang kesabaran yang tak pernah habis. Karena kita membangunnya tiap hari. Setiap pagi. Setiap hari.

Catatan untuk Dibaca

Suatu hari kamu merasa bersalah, karena telah mencuri waktu yang bukan milikmu. Kamu datang duduk manis, dengan secangkir teh hangat di tanganmu. Kamu menikmatinya tanpa tahu darimana teh itu berasal? Kamu pun tidak tahu bagaimana si pembuat teh itu bisa ada di ruangan yang sekarang sama denganmu.

Mungkin ada banyak cerita dan kamu pun mendengarnya. Tentang kebenaran, tentang kesalahan, tentang peringatan, namun kamu mengabaikannya. Kamu tetap ingin mencuri, atas nama kesenangan mungkin kebanggaan. Sampai suatu hari kamu merasa bodoh.

Harimu ringan, di sela-sela ingatan tentang seseorang. Orang yang seharusnya memiliki waktu yang kamu curi. Namun bagaimana kamu mengingat, jika kamu bahkan tak pernah bertemu dengannya?

Oh please, jangan mengeluh sekarang, saya bosan mengerti. Karena kamu seperti trend, kamu masuk dalam pusaran mereka, cerita-cerita di televisi itu. Hanya sayangnya tak segemerlap itu.

Kapan-kapan, minumlah teh bersamaku. Agar kamu tak mendengar cerita dari orang-orang.

*Catatan untuk si Mbak