The Colour of Paradise



Kenangan menonton film yang membuat ak menangis selama se-jam, adalah film The Colour of Paradise. Aku merasa tak berdaya setelah menonton film itu, seperti hanyut dalam nuansa ketidak berdayaan dari tokoh-tokohnya. Aku menontonnya di Bentara Budaya Yogyakarta. Bentara Budaya selalu memutar film tiap akhir bulan. Kita bisa menontonnya gratis. Berbagai tema film diputar dan selalu berganti tiap bulan. Tema lintas budaya, lintas ruang dan waktu. Film yang diputar jarang kita temui di rental VCD kebanyakan.

Beberapa Film yang pernah kutonton antara lain, Voice of America, votes for Women, shall we dance versi Asia, Raging Bulls, dan sebagainya.
The Colour of Paradise adalah film dengan setting Keluarga di timur tengah, Aku nonton dengan Alene Rossabelle. Film ini diputar hari kedua dari jam 16:30 sampai jam 18.30. aku baru menonton film ini sekali dan terharu. Ada pula film yang sudah cukup terkenal dan sudah sering diputar di TV yang judulnya Children of Heaven yang masuk dalam tema bulan itu.


The colour of Paradise, menggambarkan kehidupan anak umur 10 tahun, Tuna netra dan Ibunya sudah meninggal. Namanya Muhammad. Dia sekolah di sekolah khusus anak Tuna Netra di Teheran dan Tinggal di Asrama. Ketika musim Libur sekolah, ayahnya terlambat menjemputnya (entah tak ingin menjemput atau karena suatu hal). Untuk menghibur gurunya pura-pura menelpon, dan mengatakan ayahnya lagi terjebak macet, mungkin baru dalam perjalanan. Anak itu tersenyum. Lalu guru itu menyarankan agar Muhammad mendengarkan tape di kamar. Kemudian Muhammad menunggu lagi di ruang tunggu, dia mendengar suara anak burung lalu mencarinya sampai ketemu. Bisakah kamu membayangkan, anak buta yang mencari-cari burung hanya dari suara yang ia dengar. Muhammad menemukan ternyata ada anak burung jatuh dari pohon. Anak burung itu ber ciat-ciat terus, karena terjatuh dari sarang. Lalu Muhammad berusaha naik ke pohon. Dia berusaha mengembalikan anak burung itu ke sarangnya. Dia menggapai-gapai dahan mencari letak sarang burung itu berada. Dia menemukannya lalu meletakkan anak burung yang semula ia simpan di sakunya itu ke sarangnya. Dia tersenyum.

Di kembali duduk.

Ayah Muhammad Datang, namun tak berniat membawa Muhammad pulang, dia bilang pada Pihak sekolah kalau dia miskin dan Ibu Muhammad sudah meninggal, tak mungkin dia merawat muhammad sendirian. Muhammad anak dari keluarga miskin. Ayahnya pekerja kasar yang hidup dalam kesendirian, tertekan, dan tak percaya diri. Selain seorang ayah dalam keluarga itu seharusnya Muhammad hidup bersama neneknya Azizah dan dua sudara perempuannya Bahareh dan Hanieh. Bahareh dan Hanieh seorang gadis kecil yang riang yang sangat menyayangi Muhammad. Mereka bersekolah di sekolah normal, tidak seperti Muhammad.

Begitu tiba di desanya, Muhamad diajak bermain ke ladang (perkebunan). Sungguh pemandangan yang indah dan bersahaja. Banyak tanaman bunga berwarna-warni, kuning, merah, dan ungu. Digambarkan pula bunga-bunga itu dipetik warga untuk mewarnai kain. Perkampungan yang miskin namun memiliki pemandangan yang indah. Hutan dengan pohon-pohon yang besar dan lebat. Sungai dengan air yang jernih mengalir, juga kuda sebagai alat transportasi didesa itu. Muhammad berlari-lari di ladang, menemui neneknya. Dia terlihat sangat bahagia bertemu orang-orang yang telah lama ia rindukan. Tak lupa dia memberikan oleh-oleh “hadiah.” Sebuah kalung dari tutup botol untuk adiknya, Hanieh. Sirkam dari plastik untuk kakaknya, Bahareh. Lalu ada juga gunting kuku buat neneknya. Moment itu terasa hangat, haru, dan bahagia. Sekecil apapun sebuah perhatian, mampu membuat perasaan menjadi penuh.

“Tanganmu halus sekali nek, bagaimana nenek memiliki tangan seputih ini?” kata Muhammad saat meremas tangan Neneknya. Ketahuilah Muhammad buta, tentu tak bisa melihat tangan neneknya, yang sesungguhnya terlihat keriput dan hitam, yang halus adalah tangannya sendiri. Mendengar kata-kata itu, berlinanglah air mata sang nenek. Apa yang ada dalam pikiran seorang anak kecil, hingga bisa bersikap begitu kepada neneknya. mereka saling menunjukkan cintanya, saling mengasihi dalam keterbatasan masing-masing.

Kehangatan ini mulai terusik saat ayah Muhammad mulai jatuh hati pada seorang janda. Ketahuilah ayah Muhammad seorang pekerja kasar. Bagaimana dia harus menyediakan mahar? Dia ingin menata hidup setelah kepergian istrinya, mungkin dapat mengisi kesepiannya, memperhatikan ibunya, juga anak-anaknya.

Di desa itu, Muhammad ikut bersekolah di sekolah normal saudara perempuannya. Muhammad terlihat cerdas dan dapat mengikuti pelajaran, hingga teman-temannya berkerumun mengelilinginya. Namun kesenangan ini tidak lama. Ayahnya memutuskan untuk menitipkan Muhammad pada seorang tukang kayu. Ia ingin Muhammad mandiri dan kelak dapat bekerja menjadi tukang kayu. Perpisahan itu, membuat Muhammad sedih, dari mata butanya meneteskan air mata kesedihan yang mendalam. Dia duduk menyendiri, dia merasa orang-orang tidak menginginkannya lagi. Meskipun tukang kayu menghiburnya, namun itu terasa tidak signifikan.

Kepergiannya tak diketahui nenek dan saudara perempuannya. Hingga mereka mencari-cari. Nenek tak terima sikap Ayah Muhammad yang menjauhkannya dari cucunya. Neneknya sedih, dan sakit. Dua saudara perempuan itu pun menangis. Dalam keadaan sedih itu nenek pergi mencari muhammad, berjalan menyusuri desa, menyeberang sungai, dan pada saat menyeberang sungai itulah gunting kuku hadiah Muhammad terjatuh. Sang nenek seperti memiliki firasat. Nenek terus mencari-cari di dalam air sungai, dalam kondisi hujan. Sementara ayah Muhammad yang mencari-cari sang nenek telah menemukannya, lalu diajaknya pulang. Di rumah itu nenek Muhammad sakit semakin parah hingga Meninggal. Kesedihan datang kembali.

Kesedihan-kesedihan datang beruntun, tak lama kemudian. Lamaran sang ayah pun dibatalkan. Laki-laki itu merasa kalah, lemah, dan tak berdaya. Dia pun menangis, menyesali perbuatannya. Ia berniat menjemput Muhammad. Ia naik Kuda menyusuri hutan, menuju tempat Muhammad dititipkan. Dalam perjalanan Pulang Kuda itu di tuntun, saat melewati sebuah jembatan, jembatan itu ambruk. Muhammad pun jatuh dan hanyut bersama kuda yang ditumpanginya. Ayah muhammad yang panik, tertegun, akhirnya melompat ke sungai yang deras airnya. Ia berusaha menyelamatkan Muhammad. Air sungai menyeret keduanya, mereka hanyut.

Dalam kesadarannya, sang Ayah bangun dan mendapati dirinya terdampar di sebuah pantai yang sepi dan dingin. Hanya ada suara burung berkaok-kaok. Ia memandang sekelilingnya, hingga menangkap sesosok tubuh. Dia berjalan menghampiri, dan disanalah Muhammad berada, tergeletak sudah tak bernyawa. Sang ayah memeluk jasad itu, dalam raungan tangis yang memilukan. Terakhir nampak tangan Muhammad yang bercahaya. Cahaya dari warna Surga. Sebuah ending yang tak terduga.

Tidak ada komentar: