Perjuangkan Hak Perempuan melalui Pluralisme

Persoalan tentang perempuan selalu bersinggungan dengan banyak hal seperti pluralisme, fundamentalisme, kapitalisme dan sebagainya. Dari tiga hal itu hanya pluralisme yang bisa dipakai untuk memperjuangkan perempuan untuk mendapatkan haknya. Pluralisme berasal dari kata “plural” yang artinya “jamak”, “beragam” dan isme. Keragaman ini tidak bertujuan untuk dijadikan satu, namun dibiarkan menjadi dinamika dalam dialog aktif dengan mengedepankan sikap saling menghormati dan menghargai.

Bagaimana hubungan feminisme dan pluralisme? Feminisme adalah paham yang berupaya memperjuangkan kepentingan perempuan dan laki-laki akibat ketidak-adilan jender, dimana perempuan banyak menjadi korban dan dirugikan. Dalam relasi perempuan dan laki-laki ini terjadi perbedaan-perbedaan baik dari segi pandangan maupun alasan yang dipakai, yang ujungnya menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan. Pluralisme penting menjadi paradigma dalam rangka memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah perbedaan-perbedan itu, yang selama ini susah didapatkan, karena budaya dan sistem patriarkhi. Karena dalam pluralisme mengedepankan unsur dialog, di mana satu pihak tidak bisa memaksakan kepentingan atas pihak yang lain. Kepentingan laki-laki tidak boleh memaksakan diri, karena ada hak-hak perempuan. Artinya perjuangan menuntut hak perempuan tidak lalu berupaya untuk menguasai laki-laki namun didasarkan atas rasa saling menghormati dan memanusiakan.

Perda-perda Pengekangan terhadap Perempuan

Kerasnya pemahaman masyarakat dalam kehidupan beragama membuat mereka berupaya menerapkan aturan moralitas pribadi ke dalam sebuah peraturan daerah seperti larangan keluar malam (terjadi di Tangerang) dan peraturan daerah pelacuran (di bantul, Yogyakarta), pemberlakuan jilbab (di Padang). Masyarakat yang mengatasnamakan diri sebagai penjujung tinggi moralitas berupaya membuat judgement perempuan tidak boleh keluar malam, perempuan yang keluar malam adalah perempuan yang tidak baik. Perempuan PSK adalah perempuan yang tidak baik maka aktifitasnya harus dilarang. Perempuan yang baik adalah yang memakai jilbab, hingga harus ada perda yang memaksa mereka untuk memakai. Intinya Perempuan adalah sumber masalah moral hingga gerak-geriknya harus diawasi.

Aturan perda di atas sebenarnya tidak melindungi perempuan tetapi, justru mengekang kebebasan perempuan sebagai manusia yang memiliki hak asasi. Apakah pembuat perda tahu, bahwa perempuan yang keluar malam itu adalah para pekerja pabrik yang mendapatkan shift malam. Mereka bekerja untuk menghidupi keluarganya. Dan apakah pembuat perda berfikir bahwa tidak semua PSK, memiliki cita-cita untuk menjadi PSK. Setiap perempuan memiliki keinginnan untuk dihormati dan memiliki pekerjaan yang baik. Tak hanya itu jika kita lihat, persoalan PSK tidak hanya persoalan perempuan, tapi juga persoalan struktural di mana negara tidak mampu melaksanakan tanggung jawab untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi warganya. Ada ketimpangan di mana perempuan yang tidak memiliki posisi tawar, terjebak dalam pekerjaan-pekerjaan yang rentan dan minim perlindungan. Dalam hal ini negara telah melakukan kekerasan.

Mengenai jilbab, sejauh ini tidak ada jaminan bahwa perempuan yang memakai jilbab adalah perempuan, baik, bertakwa dan sholihah. Jadi aturan kewajiban memakai jilbab untuk menjamin kebaikan perempuan menjadi gugur. Banyak alasan seseorang memakai jilbab. Ada beragam alasan seorang memakai jilbab antara lain, alasan perempuan karena itu adalah pakaian islami (alasan teologis), karena dipaksa oleh aturan perda, karena merasa tidak enak dengan lingkungan sekitar (alasan psikologis), karena merasa nyaman dan sebagainya. Bahkan menjelang pemilu 2009 pemakaian jilbab sudah masuk ke wilayah politis yakni jadi ajang kampanye JK-Wiranto, hingga salah satu petinggi PKS gamang mendukung pasangan SBY gara-gara istri mereka tak berjilbab.

Menurut Musdah Mulia, Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (IRCP), inti jilbab pada hakikatnya adalah “mengendalikan diri dari semua perilaku yang merugikan.” Jilbab dengan demikian tidaklah terkait dengan busana tertentu, melainkan lebih berkaitan dengan unsur takwa di dalam hati. Perempuan beriman tentu secara sadar akan memilih busana sederhana dan tidak norak sehingga mengalihkan perhatian publik, dan yang pasti juga tidak untuk pamer.

Kasus-kasus di atas menunjukkan adanya sikap fundamentalisme kelompok tertentu. Ciri-ciri sikap ini adalah meyakini kebenaran eksklusif ajaran agama yang mereka anut, sementara ajaran yang ada di luar mereka salah. Fundamentalisme mengharuskan penilaian benar dan salah terhadap suatu prilaku, dan juga memaksakan prilaku tertentu yang dianggap benar atas orang lain.

Bentuk sikap fundamentalisme secara umum terpola dalam bentuk-bentuk sikap antara lain pertama, pembantasan ruang gerak perempuan, perempuan harus ada di ruang domestik, hingga ada perda larangan keluar malam bagi perempuan. Kedua, pembatasan berpakaian, hingga muncul perda soal kewajiban memakai jilbab. Ketiga, perempuan sebagai sumber moralitas bangsa, hingga segala sesuatu tentang tubuh perempuan harus diatur, lalu dibuatlah undang-undang pornografi dan pornoaksi. Keempat, perempuan ada di bawah laki-laki, karena itu tidak boleh memiliki kewenangan di atas laki-laki.

Sikap fundamentalisme ini semakin marak terjadi di Indonesia hingga menyebabkan konflik horisontal.

Pluralisme bagi Hak perempuan

Pandangan sempit yang mengedepankan kebenaran tunggal atas golongan tertentu membuat perempuan dirugikan. Komunikasi dan dialog untuk membicarakan relasi perempuan dan laki-laki, perempuan dan negara, harus dibudayakan. Sebagai wujud penghormatan hak perempuan untuk berekspresi dan aktualisasi diri. Perempuan berhak bekerja di waktu kapan pun dia mau tanpa ada paksaan seperti juga laki-laki. Pendekatan-pendekatan dari pluralisme ini memungkinkan adanya ruang untuk bernegosiasi sehingga perempuan turut berperan aktif dalam membuat pilihan dan keputusan.

Apa pun alasan seseorang berjilbab tetap patut dihargai. Kita harus menghargai pilihan orang lain dalam berbusana. Setiap orang punya hak untuk mengekspresikan dirinya. Sangat penting membangun sikap apresiasi terhadap perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai jilbab, sebaliknya juga menghargai mereka dengan pilihan bebasnya melepas atau membuka kembali jilbabnya.

Dalam pluralisme terdapat tiga kunci yaitu pertama, pluralisme tidak sekadar keragaman semata, namun dalam keragaman ini membutuhkan partisipasi aktif dan juga harmoni antara laki-laki dan perempuan. Kedua, pluralisme tidak hanya toleransi, namun juga ada upaya aktif untuk memahami yang lain. Ketiga, pluralisme tidak hanya soal relatifitas perbedaan, namun juga tersediannya ruang di mana perbedaan-perbedaan itu bertemu.

Dalam ajaran pluralisme tidak sekadar menyuruh perempuan dan laki-laki mengenal satu sama lain, tapi lebih dari itu, menghendaki agar sesama manusia, baik yang seagama maupun berbeda agama untuk aktif membuka diri, saling berkomunikasi, saling memberi dan menerima, saling mengoreksi diri dan bekerja sama untuk membangun kehidupan dunia yang berkeadilan jender.






Tidak ada komentar: