Stasiun

Akhirnya akan tiba saatnya pada hari yang biasa, betapapun sempurnanya sebuah hari. Akhirnya kereta itu juga yang membawamu pergi.
“Apa yang kamu lihat dari wajahku?” kamu bertanya.
“wajah perpisahan.” Jawabku
Bukankah itu menjelaskan segalanya.

Bertahun-tahun lalu aku selalu berfikir, disaat-saat seperti itu.

Seandainya kita tak tinggal di negera yang kacau. Seandainya kita tak perlu rumit memikirkan pekerjaan. Seandainya pekerjaan itu tidak membuat kita berjauhan. Mungkin kita tak perlu menanggung kesedihan di stasiun. Akhirnya aku harus membenci “jarak” sialan itu!

Janji itu membuat perutku mulas, namun hatiku hangat kembali.
Aku bilang, “Di manapun aku akan tinggal, asal ada kamu suatu hari nanti.”
Kamu bilang “Aku sulit bersama orang lain, karena aku punya kamu, jauh disini.”

Seperti daun-daun yang menguning, mudah jatuh karena hembusan angin, begitu rapuh.

Tidak ada komentar: