Akses Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan Miskin

Kondisi Kesehatan reproduksi bagi perempuan miskin sangat memprihatinkan. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI). menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 AKI masih tergolong tinggi yakni mencapai 228 per 100.000 kelahiran. Kurangnya sosialisasi tentang pentingnya kesehatan reproduksi dan sulitnya akses untuk menjangkau layanan kesehatan bagi perempuan miskin menjadi penyebab utamanya. Selain itu informasi tentang bagaimana menjaga kesehatan dengan biaya murah pun terbatas. Perlu diketahui jumlah perempuan miskin di Indonesia tergolong tinggi, menurut catatan Women Development Index (WDI) jumlahnya ada 111 juta jiwa.

Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap masalah ini tidak memberikan perhatian serius.

Hal ini ditunjukkan dengan adanya alokasi anggaran yang minim untuk bidang kesehatan. Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan yang berlaku, besaran anggaran untuk kesehatan adalah 5 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta untuk APBD adalah 10 persen di luar gaji, dengan dua per tiganya digunakan untuk pelayanan publik. Namun di daerah-daerah besarnya anggaran untuk kesehatan hanya 0,1 persen (Antara, 4 juli 2010).

Hingga hari ini, Undang-Undang Kesehatan masih menuai persoalan karena belum memiliki peraturan pemerintah (PP), jadi bagaimana menerapkannya?
Kesehatan Reproduksi adalah keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental, dan sosial, bukan sekadar tidak adanya penyakit atau gangguan di segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi, maupun proses reproduksi itu sendiri (Dokumen Kairo, 1994).

Disini kita dapat melihat kesehatan reproduksi tidak melulu hanya persoalan fisik yang bisa diselesaikan secara medis. Namun lebih dari itu ada unsur mental atau psikis seseorang yang harus sehat yakni bebas dari tekanan atau perasaan negatif lainnya. Selain itu harus memenuhi sehat secara sosial, artinya masing-masing orang berhak menjangkau pelayanan kesehatan yang akan memungkinkan kaum perempuan menjalani fungsi-fungsi reproduksinya secara sehat, terutama kehamilan dan melahirkan secara aman. Dalam pengertian yang baru ada tambahan sehat secara ekonomi, artinya perempuan harus dalam kondisi ekonomi yang baik agar dapat memenuhi kesehatan reproduksinya.

Menurut Deklarasi Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 25 menyatakan setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah yang berada di luar kekuasaannya.

Dengan demikian, berbicara tentang hak-hak reproduksi berarti berbicara tentang spektrum yang luas, mencakup tentang relasi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah publik maupun domestik. Secara fokus kesehatan reproduksi terbagi dalam masalah-masalah perkawinan, kehamilan, kelahiran, perawatan dan pengasuhan anak. Termasuk juga persoalan aborsi, Penyakit Menular Seksual (PMS), HIV dan AIDS, Keluarga Berencana (KB), alat kontrasepsi, serta masalah prilaku seksual.

Terbatasnya akses
Minimnya akses informasi yang diterima oleh perempuan miskin menyebabkan kurangnya pemahaman mereka terhadap makna dan pentingnya kesehatan reproduksi. Perempuan miskin umumnya berpendidikan rendah, yang tentu saja berimbas pada rendahnya tingkat kesadaran akan pentingnya memahami kesadaran reproduksi. Kebutuhan untuk mengetahui kesehatan reproduksi menjadi prioritas kesekian, karena mereka lebih fokus untuk bekerja demi kelangsungan hidup.

Lebih lanjut tingkat pendidikan ini akan mempengaruhi keputusan-keputusan mereka dalam merencanakan sebuah keluarga yang berkualitas. Contoh kasat mata yang bisa jadi ukuran dari rendahnya kualitas perencanaan keluarga bagi mereka adalah tingginya AKI di Indonesia yaitu 228 per 100.000 kelahiran (survei SDKI, 2007).

Dari kematian tersebut, kebanyakan disebabkan karena proses melahirkan yang tidak aman atau sehat. Secara ilmiah, sebab utama kematian ibu di indonesia pada umumnya adalah karena pendarahan (terutama pasca persalinan), Preklamsia (tekanan darah tinggi yang terjadi pada saat kehamilan), eklamsia (lanjutan dari preklamsia) infeksi, dan lainnya.

Secara fisik, hal ini terjadi oleh beberapa faktor antara lain pernikahan dini sehingga usia ibu yang terlalu muda untuk melahirkan, jarak kelahiran yang terlalu dekat, terlalu sering melahirkan, juga melahirkan pada usia tua. Usia aman bagi perempuan untuk bereproduksi adalah 20-40 tahun.

Perempuan miskin umumnya tidak mampu mengakses layanan kesehatan karena tidak punya uang. Disamping itu perempuan miskin yang tinggal di desa terpencil juga memiliki masalah akses yakni tentang jarak yang jauh dengan tempat pelayanan kesehatan. Fasilitas JamKesMas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) pada prosesnya sulit diterapkan. Prosedur yang berbelit menjadi hambatan seorang ibu yang ingin mendapatkan layanan kesehatan dengan cepat.

Masalah lain adalah soal kondisi ekonomi yang buruk membuat ibu hamil tidak mendapat makanan dengan gizi yang cukup. Budaya patriarkhi menunjukkan bahwa banyak perempuan miskin saat makan menunggu suami dan anak-anaknya makan duluan. Akhirnya seorang ibu hanya menikmati sisa dengan kuantitas dan kualitas terbatas.

Berikutnya masalah alat kontrasepsi. Para petugas layanan kesehatan yang ditugaskan memberi penyuluhan kepada perempuan masih bersifat separo-separo dan tidak tuntas.
Sebagai contoh saat seorang petugas kesehatan memberi penyuluhan tentang alat kontrasepsi, informasi yang diberikan hanya sebatas contoh dan cara penggunaan. Mereka tidak menjelaskan dampak dari penggunaan alat kontrasepsi tersebut. Mereka juga tidak menjelaskan pilihan-pilihan yang tepat dan sesuai dengan kondisi fisik perempuan tersebut. Padahal setiap perempuan memiliki kondisi tubuh yang berbeda.

Ibu-ibu pengguna alat kontrasepsi ini juga tidak dibekali pemahaman mengenai resiko menggunakan alat kontrasepsi. Meskipun sudah ber-KB, bisa juga mengalami kegagalan. Nah ketika ada Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), Dinas Kesehatan hanya memberi tunjangan melahirkan. Tidak ada konseling untuk memilih apakah meneruskan kehamilan atau tidak. Jika meneruskan langkahnya bagaimana? Jika menghentikan tindakannya harus bagaimana? Informasi ini sangat penting diberikan untuk membantu keluarga miskin membentuk keluarga yang berkualitas.

Masalah lain yang tak kalah pentingnya adalah terbatasnya alat kontrasepsi yang bisa diakses oleh masyarakat miskin secara gratis. Alat kontrasepsi justru banyak disediakan oleh bidan desa ataupun apotik dengan harga yang mahal. Pelayanan kontrasepsi justru menjadi bisnis menggiurkan bagi petugas medis di desa-desa.
Satu contoh penelitian LSM Rahima tentang minimnya sosialisasi yang ekstrim ini terjadi di kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. Begitu perempuan datang langsung ditanya mau KB yang Rp10.000,- atau yang Rp15.000,-? Tak ada penjelasan memilih apa dan dampaknya bagaimana. Saat ditanya resiko, dengan gampang perempuan di sana menjawab jika tidak cocok tinggal ganti yang lain. Begitu sederhana dan mudah. Sesederhana pengetahuan yang mereka punya soal kesehatan reproduksi.

Contoh lain adalah sosialisasi pemeriksaan papsmear dan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) untuk mendeteksi adanya kanker serviks. Studi observasi yang telah dilakukan kawan saya, Yemestri Enita, ketika menjadi Community Organizer di Bantul dan Gunung Kidul menunjukkan, memang pemerintah sudah menyediakan fasilitas tes ini namun sangat terbatas dan juga minim sosialisasi. Program ini sudah menjadi program nasional namun ditingkat lokal pelaksanaannya sangat tergantung pada kesadaran dan pengetahuan pejabat-pejabat di Dinas Kesehatan setempat. Wacana program peningkatan kesehatan reproduksi tidak muncul jika tidak ada usul.

Masalah lain yang kerap mengusik pikiran kita adalah banyak tenaga medis yang tidak sensitif gender. Saat orang mau periksa papsmear, pertanyaan yang langsung muncul adalah statusnya "nyonya" atau "nona"? Jika jawabannya adalah "nona" maka pertanyaannya akan berlanjut pada hal-hal yang bersifat pribadi dan memojokkan pasien dengan stigma negatif. Hal ini membuat perempuan-perempuan jadi berfikir panjang untuk memeriksakan diri sekalipun itu atas kesadarannya sendiri.

Dalam sebuah diskusi dengan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), saya mendengar seorang ibu protes pada menteri kesehatan yang kebetulan perempuan.
Ibu menteri berkata “Jika ditemukan gejala medis, maka akan dilakukan pemeriksaan papsmear."

Mengapa harus ada gejala medis dulu baru ada pemeriksaan?

Lalu dilanjutkan dengan pejabat tinggi Askes RI yang juga perempuan yang tidak boleh disebutkan namanya, “Masalah kesehatan kan banyak, tidak hanya persoalan ini.”
Sungguh ironis, apakah kita harus menunggu korban yang banyak hingga pemeriksaan papsmear baru bisa dilakukan? Saya turut kaget kenapa pernyataan ini justru hadir dari perempuan yang justru memiliki peran strategis dalam rangka meningkatkan kesehatan reproduksi perempuan?

Apa yang harus kita kerjakan
Kita sepakat bahwa masalah kesehatan reproduksi tidak hanya melulu urusan medis semata. Meskipun berdasarkan survey yang dilakukan Musdah Mulia, peneliti senior Kementrian Agama yang juga aktivis feminis. Akibat pengetahuan yang terbatas banyak responden menyebutkan masalah kesehatan reproduksi adalah tanggung jawab petugas medis. Kita harus memahami disana ada tanggung jawab sosial, agama, juga negara sebagai pemeran utama. Sudah seharusnya masing-masing pihak berperan aktif dan bersinergi untuk meningkatkan kesehatan reproduksi.

Negara harus merealisasikan anggaran untuk kesehatan sesuai ketentuan Undang-Undang Kesehatan yang berlaku demi terselenggaranya kesehatan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan gender. Pemerintah harus melakukan harmonisasi peraturan agar semua peraturan yang telah disusun bisa diterapkan dengan mudah serta mampu menjawab persoalan kesehatan yang berkembang di masyarakat dewasa ini.

Negara melalui perangkatnya dari kementrian, departemen, dinas, hingga aparatus desa harus memiliki kesadaran, pengetahuan, dan komitmen yang tinggi untuk mensukseskan upaya pemenuhan hak kesehatan reproduksi bagi perempuan.

Melibatkan lembaga masyarakat sebagai pengawas terselenggaranya program pemenuhan kesehatan reproduksi. Juga sebagai mitra yang bisa diajak bekerja sama memberikan pelatihan, konseling, dialog, dan diskusi, seputar kesehatan reproduksi.
Bagaimana dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat? Dua figur ini justru memainkan peran penting di daerah pedesaan.

Tokoh agama bisa melakukan pendekatan lebih efektif melalui ceramah agama atau sebagai konselor. Tokoh agama yang selama ini dianggap sebagai "panutan" dapat memberikan pemahaman yang selama ini keliru atau tabu. Misalnya anggapan banyak anak banyak rezeki, ikut KB haram, atau tentang bayi laki-laki lebih terhormat daripada bayi perempuan hingga orang belum berhenti bereproduksi sebelum mendapatkan bayi laki-laki. Tentu saja peran konselor ini harus bersifat terbuka, tidak otoriter, tidak memaksa, merasa paling benar, dan sebagainya.

Peran tokoh masyarakat menjadi penting mengingat budaya masyarakat kita yang masih mengandalkan patron klien. Mereka masih mementingkan sosok. Hampir sama dengan tokoh agama namun cakupannya lebih luas. Seorang tokoh masyarakat bisa menjadi penyuluh, penggerak, motivator, fasilitator, katalisator (penghubung sumber informasi), dan teladan (panutan).

Sinergisitas berbagai peran ini bisa menjadikan pemenuhan kesehatan reproduksi berjalan efektif dan efisien.


*menjelang hari kartini.Tak perlu selebrasi, cukuplah kita merumuskan perjuangan untuk isu ini.

2 komentar:

Irma Linda mengatakan...

Saya sependapat dengan apa yang telah diuraikan, seharusnya semua pihak dlm hal ini pemerintah dapat mengambil langkah yang tegas untuk menekan angka kemiskinan yang berdampak langsung terhadap kesehatan perempuan. Dalam kondisi hidup yang miskin perempuan akan berusaha bertahan hidup dengan segala upaya dan mengabaikan kesehatannya sendiri khususnya kesehatan reproduksi ditambah lagi pandangan masyarakat yang selalu mengutamakan kemuliaan kaum laki-laki. Sehingga secara tidak langsung keadaan ini akan membawa perempuan kepada kematian. Marilah peduli terhadap perempuan dengan melihat semua aspek kehidupannya (biologis, psikis, sosial, ekonomi dan spiritual). Terima kasih.

Astutik Kashmi mengatakan...

Trima kasih sudah mampir ke blog saya...hehehe salam kenal yaa mbak Irma Linda :-)