Sholat Idhul Adha

Hari, Senin kemarin 20 Desember 2007. Aku dan kawan-kawan sholat Ied bareng di Masjid Kampus UGM. Hari itu umat muslim sedunia memperingati hari raya Idhul Adha. Hari orang berkorban.





Suci, Bunga, aku dan Eka,...


Sholat Ied bareng ini seperti semacam rutinitas tiap tahun. Rutinitas dalam arti kumpul bareng, bagi yang ngga bisa mudik. Aku, Suci, Bunga, Eka, dan Imuth. mereka adalah teman-teman kos, sewaktu di asrama Putri Komojoyo. Mereka adalah teman-teman yanng mnyenangkan. Aku berangkat belakangan sekitar jam 06:15 wib.



Setiba di Masjid Kampus , aku melihat Jamaah sholat Ied banyak sekali. Shof berjejer rapi sampai ke taman luar Masjid. Kondisi lapangan masih basah, bekas embun dan sisa hujan semalam. Panitia masjid sudah tanggap, taman berumput itu dialasinya dengan koran, jadi tidak perlu repot lagi. Alhamdulillah,baru berjalan mendekati shof ada ibu-ibu yang memanggil, jadi ngga bingung. Aku seperti mendapat berkah kemudahan, pikirku.





Aku masih lihat-lihat, mencari teman-teman. Aku berharap bisa sholat berdekatan, tapi ngga ketemu, aku kirim pesan sholat terpisah dulu nanti ketemunya habis sholat. Ada beberapa jamaah yang mengabadikan moment tersebut dengan membawa handicam. Tidak ketinggalan abang penjual balon, ternyata creatif memanfaatkan situasi dengan menjual balon untuk anak-anak kecil. Balonnya warna warni.






Aku duduk dan memakai mukena,di samping kiri dan kananku ada ibu-ibu dan seorang nenek, mereka tersenyum ramah. Setelah itu kami sudah khusuk membaca Takbir, Tahmid, dan Tahlil. Dalam pikiran dan keheningan masing-masing.


Dari kiri ke kanan, Eka, aku Imuth, Bunga dan yang dibawah itu suci.


Dari pengeras suara, terdengar pemberitahuan bahwa sholat akan dimulai tepat pukul 06:45

Wib dan para jamaah diharap segera mempersiapkan diri.


Jam 06:45 wib tepat Sholat dimulai.



Selesai sholat, ada Khotbah sholat Ied. Khotbah ini termasuk dalam rangkaian Ibadah Sholat, mendengarkan dengan khusuk menjadi syarat untuk menyempurnakan Sholat. Inti khotbahnya, dewasa ini banyak sekali sadara kita hidup dalam garis kemiskinan, susah untuk mencari makan, tidak bisa sekolah, tidak punya pekerjaan,namun disi lain banyak dari saudara kita yang juga sangat kaya berlimpah harta dan memiliki banyak mobil mewah. Oleh karena itu pda kesempatan hari Idhul Adha ini hendaklah menjadi spirit kita untuk berkorban, berbagi dengan saudara kita yang kurang beruntung. Kita berbagi kenikmatan dan rezeki untuk menyucikan diri.



Ultah Fahri



Hari ini tanggal 17 Desember, Fahri Ulang Tahun…
Perayaan yang sama, pengulangan yang sama…nggak terasa sudah 26 tahun…

Akhir-akhir ini sering hujan, maklum memang musim hujan…Meskipun demikian hujan tak bisa diprekdisikan. Kadang siang hari sangat panas namun tiba-tiba bisa hujan. Namun hari ini Alhamdulillah nggak hujan, jadi enak buat keluar rumah.



Aku mau bikin syukuran kecil-kecilan…beli kue tart mini buat ngerayain ultahnya. Tadi pagi sih sudah ngucapin selamat , tapi baru lewat telepon. Fahri seneng banget, itu kelihatan dari ekspresinya yang terus menahan tawa saat menjawab teleponku. Fahri bilang aku orang pertama yang ngucapin, Fahri juga ngga sadar kalau hari ini ulang tahunnya. Sepertinya surprise.

Sepulang dari kantor aku mandi, lalu pergi ke toko kue. Aku lihat-lihat…eh akhirnya pilih Black Forest. Kayaknya enak nih… tart mini. Buat berdua. Lalu aku ke kos Fahri.

Aku tahu Fahri suka, tapi Fahri merasa ini berlebihan.

Aku siapin kue dan menaruh lilin di atasnya. Waktu kunyalain lilin Fahri mematikan lampu. Lalu ada Ipung, teman fahri lewat,
“loh tempatnya mati lampu ya…”
Lalu kami Cuma senyum-senyum

“Nggak Ini ada yang ulang tahun”

Jadilah Ipung turut gabung. Setelah berdoa Fahri potong kuenya…terus makan kue bersama deh… selamat ya-selamat ya…:)







Hari HAM 10 Desember



Ada sekitar seribu orang yang berkumpul di Taman Parkir Abu Bakar Ali, sebelah utara kawasan ramai bilangan Malioboro. Hari itu mereka memperingati hari HAM internasional, yang jatuh pada tanggal 10 Desember. Ada banyak pilihan untuk memperingati sebuah hari bersejarah. Mereka memilih dengan melakukan aksi Long March, sambil menyuarakan beberapa tuntutan kepada pemerintah.
Aksi mulai bergerak dari Lapangan parkir Abu Bakar Ali, dengan yel-yel yang sudah mereka persiapkan, wakil dari peserta aksi meneriakkannya, lalu diikuti peserta aksi. Suasana riuh sekali. Beberapa wartawan turut mengikuti perjalanan mereka. Mengabadikan dalam kamera.



Peserta Aksi berhenti didepan Gedung DPRD DIY. Mereka terus berorasi, sambil menunggu bisa bertemu anggota dewan. Yang lain membagikan statemen, kepada para peserta, juga orang-orang yang turut aksi. Mereka ingin menyampaikan langsung kepada Ketua DPRD DIY Gandung Pardiman. Setelah menunggu beberapa lama, Gandung Pardiman muncul juga. Wakil dari Partai golkar ini membuat kecewa, “ Saya gandung pardiman wakil ketua dewan dari unsur Partai golkar ….Perkenalan ini disambut dengan teriakan dari peserta aksi Huuuuu…Gandung Pardiman terlihat marah…lalu dia turun tidak mau memberikan tanggapan. “Kalau begini caranya saya tidak jadi menemui.”Teriak gandung.


Berbeda dengan Gandung, Sukamto wakil dari fraksi PKB lebih memilih sikap mendukung aksi tersebut. Dengan suaranya yang lantang Dia menyerukan partisipasinya turut menolak proyek Pasir Besi di Kulonprogo. “PKB menolak penambangan pasir besi di Kulonprogo.” Serunya lantang.
Rencana penambangan pasir besi di Kulon Progo ini dianggap telah melanggar HAM karena berpotensi menghilangkan lahan pertanian yang menjadi tumpuan hidup petani Kulon Progo. Penambangan berarti juga telah mengilangkan pekerjaan para petani.


Menihilkan Partisipasi Rakyat


Studi Kasus Pengambilan Kebijakan penanganan Gempa di Yogyakarta

Oleh: Astutik


Upaya penerapan otonomi daerah membentuk tata pemerintahan yang bersifat desentralistis। Ini dilakukan untuk mengurangi peran pusat yang terlalu dominan dalam mengatur kebijakan di tingkat daerah. Pemerintah pusat acapkali tidak memahami kondisi daerah. Kebijakan yang bersifat top down banyak menemui kegagalan dalam tahap implementasinya.


Kebijakan top down ini diterapkan cukup lama. Menjadi semacam penyakit kronis dalam kehidupan politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya di negara kepulauan ini, melahirkan sikap feodal di setiap level kebijakan yang nihil partisipasi rakyat. Ia tidak peduli apakah kebijakan itu menyangkut persoalan yang membutuhkan penanganan cepat atau tidak. Dalam kaitan partisipasi publik ini kasus penanganan bencana gempabumi di Yogyakarta adalah contohnya.

Berbicara mengenai good governance menggiring pada suatu niatan atau orientasi untuk melaksanakan fungsi pemerintahan secara efektif, efisien, bersih, transparan, akuntabel, dan partisipatif. Partisipasi masyarakat atau publik dapat mewujud dalam berbagai bentuk. Otonomi daerah ingin menyelesaikan semua persoalan dengan memberikan tanggungjawab dan kewenangan yang semakin besar kepada pemerintah daerah dan semakin membatasi kewenangan pemerintah pusat.

Keterlibatan warga sebagai bentuk partisipasi, setidaknya harus memerhitungkan warga masyarakat sebagai stakeholder yang setara dengan aktor-aktor lainnya dalam perencanaan program pembangunannya. Pandangan tersebut berakar pada asumsi bahwa partisipasi dapat mendorong terbangunnya warganegara yang baik, keputusan-keputusan yang tepat dan hasil akhirnya dapat membangun pemerintahan yang baik pula.
1
Enam bulan penanganan bencana gempabumi di Yogyakarta belum menemukan jalan terang. Kenyataan ini tentu menggugah pertanyaan dari berbagai pihak. Kenapa bisa terjadi? Padahal, merujuk struktur elemen warganya, Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan memiliki banyak sekali ilmuwan, profesor, peneliti, mahasiswa, aktivis, hingga masyarakat yang kritis dan menguasai segala bidang. Namun dalam kasus penanganan bencana ada banyak dari mereka yang tidak memiliki peran yang cukup penting, bahkan hanya untuk ikut merumuskan kebijakannya. Penanganan bencana masih tergolong lamban dengan beragam janji pemerintah yang tak kunjung nyata.
Janji berbuah konflik

Sehari setelah bencana, 28 Mei 2006, Wakil presiden Jusuf Kalla menyatakan janjinya bahwa korban gempa akan mendapatkan living cost atau jatah hidup sebesar Rp 90 ribu/bulan/jiwa selama tiga bulan. Di samping itu korban gempa juga akan memeroleh dana rehabilitasi untuk perbaikan rumah. Perbaikan ini dibagi dalam kategori tingkat kerusakan. Rumah rusak berat atau roboh sebesar Rp 30 juta, sedang sebesar Rp 20 juta, sementara ringan sebesar Rp 10 juta. Pernyataan Kalla ini juga tercantum dalam surat Badan koordinasi Penanganan Bencana Alam Nasional (Bakornas) Nomor 01/PBP/VI/2006 tanggal 1 Juni 2006. Harapan masyarakat semakin tinggi setelah surat ini diikuti instruksi kepada aparatur pemerintah untuk segera melakukan pendataan dari tingkat RT, RW, kelurahan dan kecamatan untuk mendata tingkat kerusakan rumah-rumah korban gempa. Namun, sampai sekarang, kebijakan ini hanya tinggal janji. Rencana pembagian jatah hidup untuk tiga bulan baru terlaksana sebulan. Sementara janji memberikan dana rehabilitasi masih menggantung dan justru berbuah konflik. Pasalnya proses manajemen pendataan menjadi bermasalah. Ini terjadi lantaran banyak rumah korban bencana yang hancur tidak terdata gara-gara mereka di rumah sakit atau mengungsi sebab tempat tinggalnya itu sudah tidak bisa dihuni lagi. Anehnya beberapa penduduk yang kondisi rumahnya masih layak huni dan tidak memenuhi kualifikasi penerima bantuan malah masuk daftar karena memanipulasi data dan menjalin KKN dengan pendata.


Secara psikologis masyarakat yang awalnya tergerak membangun rumahnya secara mandiri terpaksa berubah pikiran karena ada pernyataan Kalla tersebut. Mereka memilih menunggu menerima bantuan. Namun bantuan yang ditungu-tunggu tak kunjung datang.


Pada 3 juli 2006 pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2006 tentang pembentukan Tim koordinasi dan rekonstruksi. Pemerintah menerbitkan aturan itu tanpa ada konsultasi publik. Seolah-olah masyarakat dianggap obyek bencana yang layak diberi peraturan. Bahkan, saat beberapa lembaga swadaya di Yogyakarta mengadakan sarasehan di Kantor Gubernur di Komplek Kepatihan untuk meminta penjelasan juga tidak ada perwakilan dari pemerintah pusat sebagai representasi Jakarta. Padahal mereka sangat diharapkan kehadirannya.


Disusul kemudian pada 17 juli 2006 Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Draft Peraturan Gubernur tentang Petunjuk Operasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi, nomor: 0026.1/062-03.0/-/2006, yang mengacu Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Berdasarkan Draft peraturan ini pembagian dana rekonstruksi akan berdasarkan prioritas keluarga yang rumahnya rusak parah dan keluarga miskin. Jumlah dana sebesar Rp 15 juta untuk pembangunan satu rumah tahan gempa. Rencananya Pemerintah Daerah Jogjakarta akan menerima uang sebesar Rp 749 milyar dari total alokasi dana rehabilitasi dan rekonstruksi Jateng-DIY senilai 1,2 trilyun.


Dalam pertemuan terbatas di Gedung Agung, Istana Kepresidenan di Yogyakarta, dengan perwakilan masyarakat korban gempa, Kalla berdalih bahwa masyarakat salah paham mengartikan besaran bantuan dana rehabilitasi dan rekonstruksi. Menurut Kalla, ini jumlah maksimal yang akan dibagi, jadi tidak setiap korban menerima sebesar itu. Tentu saja pernyataan Kalla tersebut sangat mengecewakan warga.
Kepala Bidang Ciptakarya Dinas kimpraswil DIY Natsir Basuki menjelaskan soal bantuan pemerintah pusat sebesar 749 miliar rupiah. Dana itu untuk pembangunan rumah setengah jadi berupa pondasi, kolom dan atap, sedangkan bagian dinding diserahkan kepada masyarakat sendiri untuk melanjutkan sesuai kemampuan. Sementara itu pihak DPRD DIY, melalui wakil ketuanya Gandung Pardiman, menyatakan pada dasarnya sudah tidak ada kendala lagi dari pihak legislatif untuk segera melakukan proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Namun kenyataan di lapangan di Desa Trimulyo, Jetis, Bantul, sebagian warga masih bingung karena dana bantuan tetsebut belum mereka terima.
2


Kebijakan pembagian bantuan berupa material bangunan ini ternyata menuai protes dari masyarakat. Penolakan warga ini disebabkan karena mereka menilai bantuan tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan korban gempa. Ini terjadi karena rata-rata korban gempa masih bisa memanfaatkan sisa-sisa reruntuhan bangunan seperti batu bata, genteng, rangka kayu dan sebagainya. Warga lebih memilih bantuan tersebut berbentuk uang tunai saja agar bisa membelanjakan sesuai kebutuhan.
Hal lain yang juga mendapat penolakan adalah soal dana pendampingan. Disinyalir dana pendampingan rehabilitasi dan rekonstruksi ini justru menambah pembengkakan anggaran. Masyarakat menilai kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap warga sehingga mereka harus didampingi. Besaran dana pendampingan yang berjumlah Rp 37 miliar ini lebih baik digunakan sebagai anggaran rekonstruksi untuk menambah jumlah penerima bantuan.
3


Pada 26 Agustus 2006, Pemerintah Propinsi mengeluarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 23 Tahun 2006 tentang proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Peraturan ini hanya mengalami sedikit perubahan dari draft awal. Secara substansi ia masih sama: pembagian dana Rp 15 juta, membentuk kelompok masyarakat berjumlah 10 orang, dan dana akan dibagikan dalam dua tahap sebesar 40% kemudian 60% dengan prinsip pembagian berdasar prioritas. Dari segi mekanisme pengoordinasian, aturan dari gubernur ini dinilai kurang aspiratif karena disahkan tanpa partisipasi masyarakat. Para korban gempa sekali lagi dianggap sebagai obyek kebijakan yang mudah sekali diatur, padahal mereka sendiri yang mengalami bencana, mereka juga yang merasakan akibatnya. Namun giliran upaya penanganan, mereka tidak dilibatkan.
Jawa Tengah juga mengalami bencana serupa dan menerima anggaran 30% dari total DIPA 1,2 trilyun, dengan rincian Rp 451 milyar dan dibagi merata Rp 4,3 juta per KK. Sedangkan Yogyakarta, karena jumlah korbannya banyak, mendapat dana sebesar 70% tapi hanya dibagikan 20%. Bedanya lagi jumlah korban yang menerima hanya 47 ribu KK dari total 207 ribu. Kenyataannya penanganan gempa di Jawa Tengah relatif lancar dan selesai dengan cepat. Tidak seperti di Yogyakarta yang masih menyimpan konflik dan pembagiannya yang tidak transparan.


Meski dalam berbagai kesempatan pemerintah propinsi akan memberikan dana rekonstruksi sepenuhnya kepada masyarakat namun ini tidak terbukti. Terbitnya Pergub 23/2006 ini menihilkan pernyataan tersebut. Pembagian dana dilaksanakan dengan prinsip sesuai dengan prioritas. Sedangkan masyarakat menginginkan dibagi rata. Ini menuai polemik. Bahkan karena berbagai kebijakan politis, korban gempa baru mengetahuinya pada 9 September 2006.


Warga korban gempa akhirnya membentuk Forum Korban Bencana. Pada 6 September mereka melakukan aksi, menuntut hak yang sudah dijanjikan, dan mengancam tidak akan mengikuti pemilu jika tidak dipenuhi. Pada 14 september pengurus RT/RW se-Kota Yogyakarta mengancam mengundurkan diri jika kebijakan Pergub tersebut dilaksanakan. Tidak hanya itu, pada 15 September berbagai aktivis LSM di Yogyakarta yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Korban Bencana menyampaikan sikapnya secara resmi yakni menolak total peraturan gubernur tersebut. Aliansi juga menuntut agar dana rekonstruksi segera dibagi secara merata dan serentak.
Ada alasan mendasar mengapa kebijakan gubernur itu layak ditolak, Pertama, ia tidak melibatkan aspirasi masyarakat dan bertentangan dengan UU 10/2004. Kedua, ia memicu konflik horisontal, sebab dengan pembagian berdasar prioritas maka tidak semua warga korban bencana mendapat bantuan sehingga ujungnya bikin kecemburuan di masyarakat dan berbuah konflik. Ketiga, aturan tersebut tidak mengakomodasi warga yang rumahnya mengalami kerusakan ringan dan sedang.
Masalah penanganan bencana di wilayah Yogyakarta tidak hanya terjadi pada level pemerintah daerah dangan masyarakat Yogya sebagai korban gempa. Tetapi juga antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Masalah tersebut adalah komunikasi dan koordinasi.
Sebagai pemimpin tentu tidak bisa seenaknya saja mengobral janji. Ucapannya akan mengandung otoritas. Menurut perspektif hukum administrasi negara berkaitan dengan kebijakan, janji Kalla soal rehabilitasi dan rekonstruksi rumah itu telah melakuan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa (Onrehcmatige Overheidsdaad). Ia telah melakukan kebohonngan publik dengan mengubah-ubah kebijakan.
Didalam penjelasan UU 32/2004 disebutkan bahwa Otonomi Daerah menggunakan prinsip yang seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah yang ditetapkan undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
4 Namun untuk konteks gempa di Yogyakarta ada intervensi pusat yang sangat dominan.
Tiga hari setelah gempa juga sempat terjadi silang pendapat tentang status bencana, apakah bencana nasional atau lokal. Hal ini turut menyumbang kelambatan proses penanganan bencana di Yogyakarta. Karena status ini juga memiliki implikasi proses siapa yang bertanggungjawab dalam pengoordinasian proses recovery, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Kelemahan kebijakan penanganan bencana di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, ini mengandung beberapa masalah. Pertama, kita tidak memiliki payung hukum setingkat UU yang mengatur penanganan bencana di Indonesia. Kedua, tidak ada kejelasan wewenang penanganan bencana antara pemarintah pusat dan daerah. Ketiga, tidak ada kewenangan yang berhak untuk menentukan standar penilaian dan pendataan kerusakan akibat bencana. Dan keempat, tidak jelasnya penggunaan dana untuk pencegahan dan penanganan bencana serta mekanisme pertanggungjawaban dan akuntabilitas publiknya.
Tawaran solusi
Ada beberapa solusi yang bisa dipakai untuk menjawab persoalan di atas. Pertama, harus ada kebijakan penanganan bencana yang komprehensif, partisipatif dan transparan. Dalam hal ini harus ada perangkat Undang-undang yang bisa menjadi payung hukum yang mengatur penanganan bencana yang berlaku secara nasional sehingga proses recovery, rehabilitasi dan rekonstruksi, tidak berjalan parsial, sporadis dan pragmatis.Untuk daerah Yogyakarta harus ada perubahan Pergub 23/2006. Perubahan ini harus memuat aturan antara lain membagi dana bantuan secara merata untuk rumah rusak berat, sedang maupun ringan. Menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar korban bencana seperti tempat tinggal, pangan, sandang, dan kesehatan. Selanjutnya adalah segera memerbaiki fasilitas umum.
Kedua, perlu adanya pemahaman manajemen bencana. Sampai saat ini kita melihat bahwa kebijakan penanganan bencana di Yogyakarta masih memakai pendekatan yang berbasis pemenuhan hak korban (need based approach). Pendekatan ini hanya cocok untuk penanganan jangka pendek saja yakni tanggap darurat atau tahap emergency. Tahap ini harus menyediakan kebutuhan dasar korban seperti kebutuhan makan, minum, pakaian, obat-obatan, tempat tinggal sementara yang layak dan sebagainya. Jika ini diterapkan dalam jangka waktu yang lama, akan memicu masalah baru seperti terganggunya psikologi korban karena terlalu lama tinggal di tenda. Korban bencana harus segera dipindahkan ke tempat tinggal baru, karena itu segeralah membangun rumah. Pendekatan berbasis kebutuhan ini memosisikan korban sebagai obyek. Korban tinggal menerima apa yang menjadi jatah dari pemerintah atau donatur, tidak peduli apakah bantuan ini sesuai sasaran atau tidak.
Selanjutnya ada pendekatan yang mulai diterapkan yakni penanganan bencana berbasis hak (right based approach). Pendekatan ini mengharuskan pemerintah memulihkan hak korban, karena ini dituntut oleh hukum nasional dan internasional. Dengan dukungan sumber daya yang ada, pemerintah harus memaksimalkan perannya. Jika ini tidak dilakukan maka pemerintah telah melanggar hak asasi manusia.
Dilihat dari sudut partisipasi, pendekatan berbasis kebutuhan masyarakat dipandang sebagai syarat yang mencukupkan (sufficient condition) yang dipakai hanya sekadar meningkatkan pelayanan, bukan menjadi syarat yang menentukan. Sedangkan dalam pendekatan berbasis hak, partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dan ini menjadi syarat mutlak bagi pemulihan bencana.
Seharusnya penanganan bencana di Yogyakarta perlu menggunakan pendekatan ini. Di mana terbuka ruang yang lebar untuk masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya berkenaan dengan pembuatan kebijakan penanganan bencana. Kita bisa mudah menemukan akar masalah, selanjutnya menyelesaikannya secara fokus dan komprehensif .❑
1 Juni Thamrin, 2005, Orde partisipasi, Bunga Rampai Partisipasi dan Politik Anggaran, Perkumpulan Prakarsa, hal. 60.
2 Kedaulatan Rakyat, “Bantuan Pembangunan Rumah Sementara Di Bantul, Sebagian Warga Masih Kebingungan”, Kamis, 27 Juli 2006.
3 Kedaulatan Rakyat, “Datangi Pemkab, Minta Bantuan Rekonstruksi Berupa Uang, Warga Tolak Dana Pendampingan”, Minggu, 6 Agustus 2006.
4 Fauzi Ismail, Toto Sugiarto, Kurniawan Desiarto, 2005, Libatkan Rakyat dalam Pengambilan Kebijakan, Forum LSM DIY, hal. 48.



--------------------------------------




* Tulisan ini publikasikan pertama kali dalam buku "Membangun Indonesia dari Daerah" OleH Center for Strategic and International Studies (CSIS). Buku ini berisi kumpulan tulisan peserta Seminar Millenium ke VI yang diselenggarakan CSIS bekerja sama dengan JICA Foundation. Seminar ini diselenggarakan pada tanggal 24 – 30 Januari 2007 di Hotel Via Renata, Cimacan, Jawa Barat.

Rendevouz



Buat M

Suatu waktu di musim panas bulan agustus, dia mencoba meringkas jarak berpuluh kilo itu dengan perjalanan penuh kerinduan. Berharap impian akan selesai terbalas oleh pertemuan yang damai. Perbincangan pun telah ia rangkai dan cukuplah lewat telepon. Mengabarkan kepada sang kekasih mimpi, untuk mengatur janji. Sang kekasih mimpi telah merestui karena tak sampai hati untuk membuat kecewa hati. Pertemuan yang singkat, itu telah menyejukkan jiwanya, seperti seteguk air putih yang turut serta menemani cengkrama.
Dia mulai merasa tak nyaman memandang kenyataan bahwa kekasih mimpinya tak berubah, tetap seperti dulu saat berpisah dua tahun silam. Kekasih mimpi tak sanggup membuat kebohongan untuk kebahagiaan palsu, dan ia tandai itu dengan mengatakan bahwa kekasih mimpi telah dikepung banyak kegiatan, sehingga hatimu terpanggil untuk lekas bergegas….pulang! Dalam hati kekasih mimpi, menangis karena telah melukai…dan tak rela memandang lakunya sendiri yang telah berlalu…maafkan aku, bisiknya…

Kenanganku


Selamat Datang...

Di taman kenangan...di dunia penuh kenangan, kenanganku, kenanganmu...

pada saat itu...


ya begitulah waktu berlalu meninggalkan kenangan....



cheersss