Seminggu yang aku ikut diskusi Great thinker’s dengan tema “Filantropi George Soros dan Neo Kapitalisme. Tema yang menarik bukan? Melihat George soros dalam dua pandang yang berbeda. Sisi sosialis dan kapitalis. Well, diskusi ini adalah diskusi bulanan yang diselenggarakan oleh sekolah Pascasarjana UGM. Adapun pembicara yang hadir adalah A. Toni Prasetyantono, ekonom yang banyak kita kenal. Muhammad Edhie Purnawan seorang dosen UGM, yang eye chacting...he...dengan moderator mas Zuli Qodir.
George soros adalah Pria yahudi kelahiran Hongaria 1930 seorang hedge fund manager, yang awalnya ingin melindungi kekayaannya agar tidak berkurang tapi bertambah. Dia dipengaruhi oleh filsuf Karl popper dengan “theory of reflexivity”saat bersekolah di London School of Economic. Soros percaya bahwa pasar uang yang naik turun itu akan saling merefleksi, membentuk pola berulang jadi bisa diprediksi, namun di sisi lain dia juga percaya pada ketidakpastian (uncertainty). Oleh karena itu seorang Fund Manager harus menguasai informasi agar bisa memprediksi pasar, meskipun tak ada yang bisa membuat kepastian. Keyakinan akan teori itu membuat Soros sukses memupuk uangnya. Pasar uang adalah bisnis dengan High Risk High Return. Sebagai seorang sepekulan pasar uang ia diduga telah menyebabkan negara-negara asia diguncang krisis tahun 1998, termasuk indonesia. Ia membuat perkonomian tidak stabil nilai tukar dolar terhadap rupiah yang hanya 2 -3 ribu rupiah melonjak sampai kisaran 12-15 ribu. Banyak negara asia mengalami crisis ekonomi serius, bahkan di Indonesia dampaknya masih terasa hingga kini.
Tahun 1998 adalah tahun kelabu di indonesia, crisis ekonomi dan politik bercampur jadi satu. Banyak huru hara.
Ulah Soros juga terlihat kala ia mengguncang bank Inggris tahun 1992. Lalu dimana sisi filantropinya? Melalui keuntungannya yang berlimpah dari bisnis spekulasinya, Soros mendirikan yayasan sosial Open Society Institut (OSI). Banyak negara yang telah dibantunya dalam bidang-bidang antara lain pendidikan, kemanusiana dan HAM, kesehatan, lingkungan dan sebagainya. Banyak LSM yang dibantu termasuk LSM di Indonesia.
Soros memang kontroversial, Toni menyebutkan dia seperti kisah film Robin Hood yang mencuri dan merampok, namun uang dibagikan kepada warga miskin. Bisakah dianalogikan begitu? Bicara menilai baik buruknya dan jahat tidaknya Soros harus menggunakan teori konspirasi. Karena ada sebab akibatnya. “Semakin banyak kita mengerti informasi maka semakin sulit untuk menilai seseorang”, ungkap Toni.
Perdebatan terus berlanjut, sebagian menganggap Soros adalah seorang Kapitalis radikal, namun yang lain percaya soros kapitalis yang tidak menggunakan idenya sebebas-bebasnya.
Namun pasti akan lebih baik berbuat baik dengan cara-cara yang baik.
1 komentar:
Mantaps mbak tutik.
aku ajari nulis ya mbak.heheheee
Posting Komentar