Stasiun

Akhirnya akan tiba saatnya pada hari yang biasa, betapapun sempurnanya sebuah hari. Akhirnya kereta itu juga yang membawamu pergi.
“Apa yang kamu lihat dari wajahku?” kamu bertanya.
“wajah perpisahan.” Jawabku
Bukankah itu menjelaskan segalanya.

Bertahun-tahun lalu aku selalu berfikir, disaat-saat seperti itu.

Seandainya kita tak tinggal di negera yang kacau. Seandainya kita tak perlu rumit memikirkan pekerjaan. Seandainya pekerjaan itu tidak membuat kita berjauhan. Mungkin kita tak perlu menanggung kesedihan di stasiun. Akhirnya aku harus membenci “jarak” sialan itu!

Janji itu membuat perutku mulas, namun hatiku hangat kembali.
Aku bilang, “Di manapun aku akan tinggal, asal ada kamu suatu hari nanti.”
Kamu bilang “Aku sulit bersama orang lain, karena aku punya kamu, jauh disini.”

Seperti daun-daun yang menguning, mudah jatuh karena hembusan angin, begitu rapuh.

Akses Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan Miskin

Kondisi Kesehatan reproduksi bagi perempuan miskin sangat memprihatinkan. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI). menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 AKI masih tergolong tinggi yakni mencapai 228 per 100.000 kelahiran. Kurangnya sosialisasi tentang pentingnya kesehatan reproduksi dan sulitnya akses untuk menjangkau layanan kesehatan bagi perempuan miskin menjadi penyebab utamanya. Selain itu informasi tentang bagaimana menjaga kesehatan dengan biaya murah pun terbatas. Perlu diketahui jumlah perempuan miskin di Indonesia tergolong tinggi, menurut catatan Women Development Index (WDI) jumlahnya ada 111 juta jiwa.

Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap masalah ini tidak memberikan perhatian serius.

Hal ini ditunjukkan dengan adanya alokasi anggaran yang minim untuk bidang kesehatan. Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan yang berlaku, besaran anggaran untuk kesehatan adalah 5 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta untuk APBD adalah 10 persen di luar gaji, dengan dua per tiganya digunakan untuk pelayanan publik. Namun di daerah-daerah besarnya anggaran untuk kesehatan hanya 0,1 persen (Antara, 4 juli 2010).

Hingga hari ini, Undang-Undang Kesehatan masih menuai persoalan karena belum memiliki peraturan pemerintah (PP), jadi bagaimana menerapkannya?
Kesehatan Reproduksi adalah keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental, dan sosial, bukan sekadar tidak adanya penyakit atau gangguan di segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi, maupun proses reproduksi itu sendiri (Dokumen Kairo, 1994).

Disini kita dapat melihat kesehatan reproduksi tidak melulu hanya persoalan fisik yang bisa diselesaikan secara medis. Namun lebih dari itu ada unsur mental atau psikis seseorang yang harus sehat yakni bebas dari tekanan atau perasaan negatif lainnya. Selain itu harus memenuhi sehat secara sosial, artinya masing-masing orang berhak menjangkau pelayanan kesehatan yang akan memungkinkan kaum perempuan menjalani fungsi-fungsi reproduksinya secara sehat, terutama kehamilan dan melahirkan secara aman. Dalam pengertian yang baru ada tambahan sehat secara ekonomi, artinya perempuan harus dalam kondisi ekonomi yang baik agar dapat memenuhi kesehatan reproduksinya.

Menurut Deklarasi Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 25 menyatakan setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah yang berada di luar kekuasaannya.

Dengan demikian, berbicara tentang hak-hak reproduksi berarti berbicara tentang spektrum yang luas, mencakup tentang relasi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah publik maupun domestik. Secara fokus kesehatan reproduksi terbagi dalam masalah-masalah perkawinan, kehamilan, kelahiran, perawatan dan pengasuhan anak. Termasuk juga persoalan aborsi, Penyakit Menular Seksual (PMS), HIV dan AIDS, Keluarga Berencana (KB), alat kontrasepsi, serta masalah prilaku seksual.

Terbatasnya akses
Minimnya akses informasi yang diterima oleh perempuan miskin menyebabkan kurangnya pemahaman mereka terhadap makna dan pentingnya kesehatan reproduksi. Perempuan miskin umumnya berpendidikan rendah, yang tentu saja berimbas pada rendahnya tingkat kesadaran akan pentingnya memahami kesadaran reproduksi. Kebutuhan untuk mengetahui kesehatan reproduksi menjadi prioritas kesekian, karena mereka lebih fokus untuk bekerja demi kelangsungan hidup.

Lebih lanjut tingkat pendidikan ini akan mempengaruhi keputusan-keputusan mereka dalam merencanakan sebuah keluarga yang berkualitas. Contoh kasat mata yang bisa jadi ukuran dari rendahnya kualitas perencanaan keluarga bagi mereka adalah tingginya AKI di Indonesia yaitu 228 per 100.000 kelahiran (survei SDKI, 2007).

Dari kematian tersebut, kebanyakan disebabkan karena proses melahirkan yang tidak aman atau sehat. Secara ilmiah, sebab utama kematian ibu di indonesia pada umumnya adalah karena pendarahan (terutama pasca persalinan), Preklamsia (tekanan darah tinggi yang terjadi pada saat kehamilan), eklamsia (lanjutan dari preklamsia) infeksi, dan lainnya.

Secara fisik, hal ini terjadi oleh beberapa faktor antara lain pernikahan dini sehingga usia ibu yang terlalu muda untuk melahirkan, jarak kelahiran yang terlalu dekat, terlalu sering melahirkan, juga melahirkan pada usia tua. Usia aman bagi perempuan untuk bereproduksi adalah 20-40 tahun.

Perempuan miskin umumnya tidak mampu mengakses layanan kesehatan karena tidak punya uang. Disamping itu perempuan miskin yang tinggal di desa terpencil juga memiliki masalah akses yakni tentang jarak yang jauh dengan tempat pelayanan kesehatan. Fasilitas JamKesMas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) pada prosesnya sulit diterapkan. Prosedur yang berbelit menjadi hambatan seorang ibu yang ingin mendapatkan layanan kesehatan dengan cepat.

Masalah lain adalah soal kondisi ekonomi yang buruk membuat ibu hamil tidak mendapat makanan dengan gizi yang cukup. Budaya patriarkhi menunjukkan bahwa banyak perempuan miskin saat makan menunggu suami dan anak-anaknya makan duluan. Akhirnya seorang ibu hanya menikmati sisa dengan kuantitas dan kualitas terbatas.

Berikutnya masalah alat kontrasepsi. Para petugas layanan kesehatan yang ditugaskan memberi penyuluhan kepada perempuan masih bersifat separo-separo dan tidak tuntas.
Sebagai contoh saat seorang petugas kesehatan memberi penyuluhan tentang alat kontrasepsi, informasi yang diberikan hanya sebatas contoh dan cara penggunaan. Mereka tidak menjelaskan dampak dari penggunaan alat kontrasepsi tersebut. Mereka juga tidak menjelaskan pilihan-pilihan yang tepat dan sesuai dengan kondisi fisik perempuan tersebut. Padahal setiap perempuan memiliki kondisi tubuh yang berbeda.

Ibu-ibu pengguna alat kontrasepsi ini juga tidak dibekali pemahaman mengenai resiko menggunakan alat kontrasepsi. Meskipun sudah ber-KB, bisa juga mengalami kegagalan. Nah ketika ada Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), Dinas Kesehatan hanya memberi tunjangan melahirkan. Tidak ada konseling untuk memilih apakah meneruskan kehamilan atau tidak. Jika meneruskan langkahnya bagaimana? Jika menghentikan tindakannya harus bagaimana? Informasi ini sangat penting diberikan untuk membantu keluarga miskin membentuk keluarga yang berkualitas.

Masalah lain yang tak kalah pentingnya adalah terbatasnya alat kontrasepsi yang bisa diakses oleh masyarakat miskin secara gratis. Alat kontrasepsi justru banyak disediakan oleh bidan desa ataupun apotik dengan harga yang mahal. Pelayanan kontrasepsi justru menjadi bisnis menggiurkan bagi petugas medis di desa-desa.
Satu contoh penelitian LSM Rahima tentang minimnya sosialisasi yang ekstrim ini terjadi di kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. Begitu perempuan datang langsung ditanya mau KB yang Rp10.000,- atau yang Rp15.000,-? Tak ada penjelasan memilih apa dan dampaknya bagaimana. Saat ditanya resiko, dengan gampang perempuan di sana menjawab jika tidak cocok tinggal ganti yang lain. Begitu sederhana dan mudah. Sesederhana pengetahuan yang mereka punya soal kesehatan reproduksi.

Contoh lain adalah sosialisasi pemeriksaan papsmear dan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) untuk mendeteksi adanya kanker serviks. Studi observasi yang telah dilakukan kawan saya, Yemestri Enita, ketika menjadi Community Organizer di Bantul dan Gunung Kidul menunjukkan, memang pemerintah sudah menyediakan fasilitas tes ini namun sangat terbatas dan juga minim sosialisasi. Program ini sudah menjadi program nasional namun ditingkat lokal pelaksanaannya sangat tergantung pada kesadaran dan pengetahuan pejabat-pejabat di Dinas Kesehatan setempat. Wacana program peningkatan kesehatan reproduksi tidak muncul jika tidak ada usul.

Masalah lain yang kerap mengusik pikiran kita adalah banyak tenaga medis yang tidak sensitif gender. Saat orang mau periksa papsmear, pertanyaan yang langsung muncul adalah statusnya "nyonya" atau "nona"? Jika jawabannya adalah "nona" maka pertanyaannya akan berlanjut pada hal-hal yang bersifat pribadi dan memojokkan pasien dengan stigma negatif. Hal ini membuat perempuan-perempuan jadi berfikir panjang untuk memeriksakan diri sekalipun itu atas kesadarannya sendiri.

Dalam sebuah diskusi dengan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), saya mendengar seorang ibu protes pada menteri kesehatan yang kebetulan perempuan.
Ibu menteri berkata “Jika ditemukan gejala medis, maka akan dilakukan pemeriksaan papsmear."

Mengapa harus ada gejala medis dulu baru ada pemeriksaan?

Lalu dilanjutkan dengan pejabat tinggi Askes RI yang juga perempuan yang tidak boleh disebutkan namanya, “Masalah kesehatan kan banyak, tidak hanya persoalan ini.”
Sungguh ironis, apakah kita harus menunggu korban yang banyak hingga pemeriksaan papsmear baru bisa dilakukan? Saya turut kaget kenapa pernyataan ini justru hadir dari perempuan yang justru memiliki peran strategis dalam rangka meningkatkan kesehatan reproduksi perempuan?

Apa yang harus kita kerjakan
Kita sepakat bahwa masalah kesehatan reproduksi tidak hanya melulu urusan medis semata. Meskipun berdasarkan survey yang dilakukan Musdah Mulia, peneliti senior Kementrian Agama yang juga aktivis feminis. Akibat pengetahuan yang terbatas banyak responden menyebutkan masalah kesehatan reproduksi adalah tanggung jawab petugas medis. Kita harus memahami disana ada tanggung jawab sosial, agama, juga negara sebagai pemeran utama. Sudah seharusnya masing-masing pihak berperan aktif dan bersinergi untuk meningkatkan kesehatan reproduksi.

Negara harus merealisasikan anggaran untuk kesehatan sesuai ketentuan Undang-Undang Kesehatan yang berlaku demi terselenggaranya kesehatan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan gender. Pemerintah harus melakukan harmonisasi peraturan agar semua peraturan yang telah disusun bisa diterapkan dengan mudah serta mampu menjawab persoalan kesehatan yang berkembang di masyarakat dewasa ini.

Negara melalui perangkatnya dari kementrian, departemen, dinas, hingga aparatus desa harus memiliki kesadaran, pengetahuan, dan komitmen yang tinggi untuk mensukseskan upaya pemenuhan hak kesehatan reproduksi bagi perempuan.

Melibatkan lembaga masyarakat sebagai pengawas terselenggaranya program pemenuhan kesehatan reproduksi. Juga sebagai mitra yang bisa diajak bekerja sama memberikan pelatihan, konseling, dialog, dan diskusi, seputar kesehatan reproduksi.
Bagaimana dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat? Dua figur ini justru memainkan peran penting di daerah pedesaan.

Tokoh agama bisa melakukan pendekatan lebih efektif melalui ceramah agama atau sebagai konselor. Tokoh agama yang selama ini dianggap sebagai "panutan" dapat memberikan pemahaman yang selama ini keliru atau tabu. Misalnya anggapan banyak anak banyak rezeki, ikut KB haram, atau tentang bayi laki-laki lebih terhormat daripada bayi perempuan hingga orang belum berhenti bereproduksi sebelum mendapatkan bayi laki-laki. Tentu saja peran konselor ini harus bersifat terbuka, tidak otoriter, tidak memaksa, merasa paling benar, dan sebagainya.

Peran tokoh masyarakat menjadi penting mengingat budaya masyarakat kita yang masih mengandalkan patron klien. Mereka masih mementingkan sosok. Hampir sama dengan tokoh agama namun cakupannya lebih luas. Seorang tokoh masyarakat bisa menjadi penyuluh, penggerak, motivator, fasilitator, katalisator (penghubung sumber informasi), dan teladan (panutan).

Sinergisitas berbagai peran ini bisa menjadikan pemenuhan kesehatan reproduksi berjalan efektif dan efisien.


*menjelang hari kartini.Tak perlu selebrasi, cukuplah kita merumuskan perjuangan untuk isu ini.

Penyakit

Saya sering batuk kecil-kecil ini sudah lama. Tapi saat mengobrol dengan seorang teman kemarin saya jadi ingat waktu kecil saya pernah batuk berdarah. Saya kedokter di antar ibu lalu sembuh.

Tiba-tiba saya takut kena TBC, penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa, Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam. Darah yang keluar bersama dahak disebabkan ada saraf pembuluh darah di leher pecah.

Saya pun membayangkan kanker serviks. Ibu meninggal di usia muda karena penyakit ini, disamping ada komplikasi dengan jantung dan liver. Penyakitnya berat. Nenek saya juga, meninggal karena mengalami pendarahan hebat di rahimnya, bertahun-tahun. Antara sembuh dan kumat lagi.

Ibu sakit jantung, dengan gejala sering berdebar-debar. Ibu sering khawatir terhadap sesuatu secara berlebihan. Saat ayah pulang malam, ibu selalu menangis. Bukan karena apa-apa, hanya perasaan khawatir. Saat ada saudara ayah atau ibu yang pergi ke tempat jauh, entah itu untuk belajar maupun bekerja. Dia selalu berpesan, jika nanti berangkat tak usah pamit saja. Ini hal yang aneh, tau kenapa? Karena dia sedih dengan perpisahan. Dia bisa sedih dan tak bekerja seharian hanya karena melihat saudara yang pergi jauh berpamitan dengannya. Saya mewarisi sifat ini.

Liver ibu rusak karena sering minum obat kimia, minum obat pereda sakit kepala hampir tiap hari. Saya sering melarangnya namun tak mempan. Saat meninggal badannya menguning pucat.

Dua perempuan ini, Ibu dan Nenek sebelum meninggal memiliki permintaan yang sama. Mereka minta minum air putih banyak sekali. Saya tak menyaksikan keduanya. Saya tak ada disampingnya.

Saat nenek meninggal, ibu baru sebulan melahirkan adik saya. Dia menangis hebat, dengan darah nifas deras keluar. Saya masih kecil. Saya masih SD kelas tiga, saya sedih. Kesedihan anak kecil yang mudah lupa. Air mata saya deras mengalir tanpa suara disamping jenazahnya. Namun habis itu lupa, kesedihan anak kecil. Waktu itu saya hanya sedih melihat ibu menangis hebat, saya butuh dia, namun saya tak mengerti cara menghiburnya.

Sejak kecil saya jauh dengan nenek, dia suka makan sirih dan bibirnya merah. Dia suka memluk dan mencium saya. Namun saya tidak mau dekat-dekat, karena saya takut terkena ludah di bibirnya yang merah.

Setelah nenek tak ada dan saya punya adik, saya jadi mandiri. Ibu dan Ayah sibuk sekali. Mengurusi Toko yang waktu itu sedang berkembang. Aku dan adikku kurang perhatian dan kasih sayang. Kami tumbuh dengan kaku dan sering bertengkar. Kami dibesarkan dengan benda-benda dan uang. Kami tidak pernah tidur dengan dongeng. Komunikasi kami terbatas. Namun aku tahu ibu dekat denganku dengan caranya yang protektif. Dengan caranya mengkhawatirkan saya dan memikirkan setiap kebutuhan saya tanpa saya minta.

Itulah mengapa, kematiannya pernah melumpuhkan saya. Saya tidak lengkap lagi. Saya memang tidak menangis waktu itu, saya ikhlas. Karena merasa dia telah bebas dari rasa sakit. Orang-orang heran, karena saya tidak menangis, padahal ayah pingsan. Namun sebulan setelah itu saya merasakan kehilangan yang sangat. Ada lubang di hati yang dalam sekali. Saya menangis keras. Hingga bertahun-tahun tak menangis hebat lagi. Sejak saat itu saya berjanji tak ingin kehilangan lagi. Tak ingin ditinggalkan lagi oleh orang-orang terdekat. Biarlah saya yang meninggalkannya. Biarlah saya yang mati duluan.

Saya berusaha menjaga hubungan sebaik-baiknya. Saya tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Atau berkata-kata manis. Saya hanya bisa melakukannya dengan tindakan. Karena tak pandai berkata-kata yang menyenangkan. Saya kaku.

Saya sering membayangkan kematian saya. Apakah saya akan mewarisi satu dari penyakit ini? Saya bertanya-tanya.

Saat nanti saya mati, saya tidak berharap ada kesedihan, saya berharap kematian saya direlakan. Saya berharap kepergian saya tak dibahas dan dilupakan begitu saja, seperti aku tak pernah ada.

Orang yang paling beruntung
adalah mereka yang tak pernah dilahirkan
atau mereka yang dilahirkan dan mati muda (puisi SHG)

Tiba-tiba saya ingin membenarkan puisi ini. Saya takut berumur panjang.

Mengalami

Apa itu sedih? Sedih adalah mengalami. Apa itu kehilangan? Kehilangan adalah mengalami. Apa itu rindu? Rindu adalah mengalami. Apa itu bahagia? Bahagia adalah mengalami. Apa itu empati? Empati adalah merasakan. Bagaimana kamu akan merasakan jika kamu tak pernah mengalami.

Dua tahun lalu, saya membuka baju-baju ibu dalam kardus penyimpanan. Saya mencucinya, saya merawatnya dengan memberi wangi-wangian. Mencuci baju ibu seperti memandikan ibu kembali. Namun ada beberapa baju yang saya tinggal sebagian. Saya ingin menyimpan bau keringatnya, saat rindu aku akan menciumnya. Biarlah saya yang tahu. Sekarang saya jauh dari rumah, hanya menyimpan selembar foto mungil peninggalannya dalam sebuah KTP usang. Suatu hari ayah ingin foto itu dibuat lukisan, saya takut membuatnya sedih, saya bilang belum bertemu dengan pelukis. Beberapa kali dia bertanya hingga lupa.

Hari ini aku mengambil kartu ATM dan Foto itu terjatuh, seperti hatiku hari ini. Wajah itu masih sama, ekspresi yang sama.

Sunday morning!

Hari minggu yang berjalan sendu, dari pagi sudah hujan melulu lalu diakhiri gerimis yang pajang. Langit mendung membuat saya malas keluar. Menjadi manusia kamar seharian pasti membosankan. Hanya membaca buku di temani teh manis, roti, dan coklat. Tadi ada dering sms masuk, seorang teman mengundangku untuk masak bersama di rumahnya yang baru. Sungguh menarik, namun rumahnya jauh sekali butuh tiga puluh menit untuk mencapainya. Jauhkah? Jauh dan dekat tergantung perasaan kita bukan? Kami sudah membuat janji beberapa kali, namun tak kunjung ketemu.

Ceritanya temanku ini punya bayi baru, ah pasti lucu, saya suka bayi. saya merasa belakangan hidupnya penuh warna, dengan kesibukan barunya ini membuat hidupnya seimbang baik publik maupun domestik. Saya pun ingin seperti itu, merasa bahagia berjalan dan bergerak di dua wilayah. Dia belum pernah melahirkan namun, dia membantu merawat bayi sahabatnya yang singgle parent. Lelaki yang seharusnya menjadi ayah si bayi lari entah kemana.

Belakangan saya menemukan banyak cerita dan peristiwa buruk dari orang-orang di sekitar saya, dekat sekali. Saya naif, selama ini saya selalu mengaggap hanya terjadi di luar sana, jauh sekali. Hanya cerita di televisi, gosip, atau hanya kisah seseorang yang kebetulan mampir dalam otak saya yang selalu saya usir – jangan saya, karena saya tidak mau-. Selama ini saya resisten dengan hal-hal buruk. Selalu membayangkan hidup lurus dan teratur, belajar dan berusaha berjalan lurus untuk bahagia. Saya selalu berfikir sesuatu yang kita upayakan dengan baik akan berakhir baik, dan tentu istilah baik ini masih dalam sudut pandang saya.

Dalam perbincangan sambil lalu ini, teman saya bilang bayi ini nanti rencananya akan tinggal bersamanya dan dia yang akan menggantikannya menjadi single parent. “Oh betapa mulianya hatimu.” Respon saya seketika itu. “Ya sekali dalam hidup orang harus memilih peran, dan saya memutuskan itu.” Jawabnya.

Buka matamu! Tajamkan pendengaranmu! Ini hidup!

Suatu hari dia bertanya kepada saya, ingin cari rumah baru. Dia bilang buat si bayi. “Ha?” saya bingung tidak tau maksudnya? Dia meneruskan. “Temanku mau meneruskan kehamilannya. Saya akan tinggal untuk menemaninya.” Saya baru paham. Kami pernah belajar tentang seksualitas, tentang family planning, relationship, juga tentang aborsi. Waktu itu memang hanya sebatas teori, namun sekarang orang-orang di dekat kita mengalami dan kita terpanggil untuk terlibat memberi pemahaman atas pilihan-pilihan itu. Satu sisi merasa bangga terhadap orang yang mau bertanggung jawab dan memilih meneruskan kehamilan. Namun disisi lain tidak ingin mengutuk seseorang yang memilih menghentikan kehamilan dengan aborsi. That’s about choice! Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan seperti usia kehamilan, kondisi kesehatan, juga mental. Banyak kasus yang muncul adalah bukan saat aborsi namun trauma pasca aborsi. Rasa sakit dan perasaan bersalah yang terus menghantui, mimpi buruk, dan sebagainya. kenapa harus perempuan yang menanggungnya? Apakah laki-laki merasa bersalah dalam peristiwa ini?

Who is a man? Who is he? He is someone who make us cry in pain, isn’t he? He is someone who make us happy, Isn’t he. Who is good guy? Who is bad guy? Is he someone like people tell us? Is he someone like your thinking about?

Di kantor banyak kejadian serupa hampir mengisi minggu-minggu kami. Saat ada klien perempuan datang dengan berurai air mata. Tebakan kami selalu benar. Perempuan sebagai korban dari laki-laki yang tak bertanggung jawab. Saya jadi sedikit pusing.

Saya tidak boleh memandang hitam dan putih. Setiap orang memiliki peluang yang sama. Tak ada orang yang benar-benar jahat. Tak ada orang yang benar-benar baik. Karena dunia ini diisi oleh dua hal itu. Baik dan buruk, hitam dan putih, kuat dan lemah, dan sebagainya. Kita tinggal memilih dan menjalani. Kita pernah jatuh, namun kita juga bisa bangkit. Hari ini kita menangis namun siapa tau besok kita tertawa. Hari ini kita bersedekah, siapa tau besok tergoda untuk korupsi. Kita hanya bisa mengendalikan diri kita sendiri, bukan orang lain. Kita adalah pribadi yang otonom.

Ada orang memilih jalan pahit atau jalan “hitam” untuk mempertahankan hidup. Ada orang yang memilih dunia “hitam” untuk menikmati hidup.

Hari ini Samuel Mulia penulis parodi idola saya bilang “It always has to be dark for the stars appear.”

Saya selalu berfikir baik. Teman saya bilang “kamu ini seperti kertas putih. Selalu terkejut dengan peritiwa buruk, diluar sana banyak orang jahat, banyak orang menipu, sadar dong!”

“Tenang kawan, saya mengalaminya, saya telah merasakannya. Saya dibohongi, lucu kan? Tertawa sajalah.”

Saya percaya tak ada yang sempurna, saya pun banyak kurangnya. Mungkin suatu hari saya bersikap buruk kepada seseorang padahal menurut saya baik. Mungkin suatu hari saya bersikap baik kepada seseorang, padahal itu buruk baginya. Oh God, semoga saya selalu mencintai dua hal itu, yang hitam dan yang putih itu dan pertemukanlah aku dengan jiwa-jiwa yang baik hati, yang mendengarkanku kala senang dan sedih, yang menemaniku di waktu baik dan buruk.

Hari ini saya berdoa buat mereka yang selalu menemani saya selama ini. Mereka yang baik kepada saya. Buat mereka yang telah menguji kesabaran saya. Buat mereka yang telah jahat sama saya. Saya tak punya apa-apa, saya tak kehilangan apa-apa. Saya berharap dapat bahagia dengan cara yang baik, tanpa menyakiti dan melukai orang lain.