Pikiranku Pagi Ini


Pagi yang dingin, aku tidak boleh terkurung di dalam kamar ini, kamar yang dulu kusenangi namun belakangan ingin selalu kutinggalkan. Ingin pergi ketempat dimana membuat aku merasa ringan dan damai.

Aku keluar naik mio, seminggu ini aku tukeran motor dengan saudara. Ada fikiran lucu naik mio membuat perasaanku jadi feminin, sebuah kesenangan kecil saat membayangkan ini. Aku merasa rileks, semoga ayah mengabulkan permohonanku untuk mengganti. Aku melaju ke lapangan badminton di daerah Nitikan dekat terminal lama, mungkin aku hanya menonton atau sedikit bermain. Karena aku sudah lama tidak main badminton, takut sakit. Aku teringat pertama kali main, saking semangatnya aku kurang pemanasan. Efeknya dadaku panas sekali seperti terbakar, Nafasku jarang-jarang, keringat mengucur, panasnya bukan main. Aku bertanya-tanya kepada teman-temanku. Aku ini kenapa? Mereka bilang aku kurang pemanasan. Ooooh begitu? Lalu aku minum pelan-pelan. Aku menertawakan kebodohanku.

Bayanganku tertuju pada politikus yang meninggal karena serangan jantung, yang belakangan ramai mengisi acara infotainmen, dia adalah Adjie Massaid. Dia meninggal setelah main bola. Aku membayangkan dan menghubungkan apakah kurang pemanasan dalam olahraga juga bisa fatal? Dalam analisa laporan Kompas yang kubaca minggu lalu, kondisi fisik seseorang yang kurang fit, kurangnya pemanasan dalam berolahraga bisa memicu kerja jantung tidak sempurna jika ini tak diantisipasi maka bisa fatal, banyak kasus atlit yang meninggal di tempat latihan. Hmmm....Aku ngeri membayangkannya.

Soal kematian ini, aku punya pikiran semakin lama seiring bertambahnya waktu, kematian itu akan semakin mendekati kita. Kita hanya perlu bersiap-siap menyambutnya.

Aku sampai di lapangan itu, namun di dalam masih sepi, tak seperti biasanya. Aku menunggu di luar. Lapangan itu bersebelahan dengan gedung TK. Disana banyak anak-anak kecil rame sekali. Bermain kesana kemari, bertingkah lucu dan tertawa riang. Segala macam media permainan mereka coba. Jaman sekarang macam-macam alat permainan disediakan untuk membuat anak-anak gembira. Gedung itu tidak terlalu luas, alat-alat itu di taruh di halaman yang sempit. Dari desainnya Terkesan memaksa. “Karena itu gedung TK maka harus ada media untuk bermain.” Apa mereka tau semua permainan itu terkesan mekanis? Berulang-ulang dan menjemukan. Ada “prosotan”, ayunan, dan tangga-tangga dengan bentuk kubus, yang semuanya di cat warna-warni. Semuanya tersedia dengan seragam.

Jaman aku TK dulu, alat-alat permainan itu tidak ada di sekolah. Namun kita bisa menikmati permainan yang sama dengan membuatnya sendiri. Bedanya tidak dicat warna-warni. Kita main ayunan yang di gantung di pohon, buat rumah-rumahan dari kardus semen, belajar naik pohon, dan untuk yang satu ini aku paling tidak bisa.

Bermainlah anak-anak, ini adalah masamu untuk bermain. Saat aku kecil, aku ingin sekali menjadi orang dewasa. Berharap melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh orang dewasa. Waktu itu aku selalu mendapat banyak larangan, tak boleh ini, tak boleh itu, dengan alasan masih anak kecil. Saat kecil aku sering mengukur kakiku dengan ubin, apakah sudah melewati garis, jika sudah maka aku menganggap diriku sudah dewasa. Ah...ini adalah rahasia, bagaimana ubin semen itu bisa jadi ukuran? Aku juga mengukurnya dengan ukuran sepatu, waktu itu ukuranku selalu nomer 36. Hmm...kapan bisa jadi 40? Aku membatin saat dewasa nanti ukuranku adalah 40 dan ternyata benar, ukuran sepatuku sekarang adalah 40.

Bermainlah anak-anak yang lucu, yang manis, nikmati duniamu. Aku iri melihatmu, jika boleh aku ingin kembali menjadi anak kecil seperti dirimu. Kembali polos, selalu jujur, tidak berbohong dan dibohongi.

Pikiranku kemana-mana, dengan head set menutup telinga. Suara Afghan, penyanyi dengan colour suara lembut yang sangat kusukai merasuk dalam. “Bukan Cinta Biasa”, mengalun perlahan, menemani pagiku yang dingin dan sepi. Mengapa aku merasa sepi ditengah riuh ramainya teriakan dan celoteh anak-anak itu. Lagu anak-anak sayup-sayup terdengar, namun lagu dalam handphoneku menghisap, menyeretku untuk tenggelam. Saat lirik “terimalah pengakuanku” di akhir lagu...rasanya air mata ini bisa tumpah kapan saja. Oh Tuhan...jika engkau menciptakan perasaan ini untuk bahagia dan sedih, berikanlah bahagia itu lagi. Aku menerima yang sederhana itu, asalkan abadi dan tak pernah terbagi lagi.

Ditempat lain, orang kesal memikirkan negara yang kian kacau. Yang tak bisa melindungi warganya dari kekerasan. Betapa mudahnya orang mati di negeri ini. Hanya karena beda keyakinan, hanya karena ingin merdeka. Orang Ahmadiah di bunuh karena mempertahankan keyakinannya. Dan yang membunuh pun mengatasamakan agama. Kenapa harus ada agama jika tidak membuat kita baik? Apakah agama itu? Apakah dia minta dibela dengan cara itu? Seandainya dia bisa bicara.

Sebagian kecil orang di negeri ini, berfoya-foya, menumpuk harta menikmati uang hasil korupsi. Mereka merampok, untuk kesenangan yang tak pernah ada habisnya. Mereka menutup mata ketika ada berita kelaparan dimana-mana, ada lumpur yang menenggelamkan rumah dan harta benda, dan membuang muka saat melihat banyak anak jalanan putus sekolah tinggal di kolong jembatan.

Dimanakah nurani? Dimanakah? Berikanlah keadilan itu...! pikiranku rumit, melompat-lompat. Aku mengingat ucapan. That’s just live honey...not heaven!

Tidak ada komentar: