Sarang Lidi, Bersatu Peduli Pendidikan


Suatu siang bulan oktober 2008 beberapa orang tua siswa dari berbagai sekolah di DIY, nampak berkumpul di sebuah ruangan di Lembaga Ombudsman Nasional Yogyakarta. Mereka nampak gelisah dan tidak puas dengan kebijakan sekolah yang menetapkan tarif mahal. Mereka tak saling kenal sebelumnya, namun karena ada persamaan tujuan yakni membela hak-hak anaknya yang di langgar. Mereka merasa bahwa perjuangan ini butuh waktu dan juga wadah yang bisa menyatukan mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk membuat satu forum komunikasi peduli pendidikan, kelak mereka memberi nama forum ini dengan sebutan Sarang Lidi.

Sarang Lidi dibentuk sebagai respon atas konsep otonomi sekolah dengan Manajemen Berbasis sekolah yang ternyata berdampak pada tingginya pungutan sekolah (pungli). Pungli ini membebani orang tua siswa dan semakin lama mengarah pada komersialisasi pendidikan. Anehnya hal ini justru terjadi di sekolah-sekolah negeri yang biaya operasional sekolah dan gaji guru maupun karyawannya ditanggung pemerintah.

Siswa yang di dalam sistem pendidikan kita dijadikan obyek pengajaran, tidak memiliki posisi tawar. Bahkan banyak orang tua yang merasa tidak berdaya untuk melawan kebijakan sekolah. Orang tua tidak tahu harus mengadu kemana. Sekolah justru jadi lahan untuk ajang korupsi. Komite sekolah bisa berbuat apa-apa, justru main mata karena anggota komite sebagian berasal dari pihak sekolah.

“Komite pendidikan itu kan harusnya jadi akuntan independen, yang bisa mengawasi dana dari orang tua, anggaran internal, tapi nyatanya itu taj berjalan.” Ujar Yuliani Sekjend Sarang Lidi, Pengurus yang terkenal paling vokal.

Sarang Lidi dibentuk untuk menembus kokohnya tembok tidak transparannya manajemen keuangan sekolah. Yuli berpendapat, orang tua siswa harus bersatu untuk peduli terhadap masalah pendidikan ini. Saking getolnya berkampanye, di rumahnya yang berada di umbulharjo dia memasang spanduk Sarang Lidi. “ini adalah upaya agar masyarakat tahu bahwa kita menerima pengaduan, jika ada apa-apa, jika mereka mengalami masalah entah itu iuran yang tinggi, pungli, dan sebagainya bisa datang kerumah kami dan mengadu.”

Modus-modus pungli antara lain melalui pendaftaran sekolah, mark-up anggaran komite, insentif guru, serta pengadaan seragam dan buku. Melalui proses ini banyak orang tua siswa yang tidak tahau jika modus ini syarat akan pungli. Bagi orang tua yang banyak uang tentu tidak masalah, kalaupun mereka tahu akan membiarkan saja. Namun bagi orang tua siswa yang tidak mampu, maka pungutan-pungutan ini akan memberatkan. Jika pun memberatkan namun akan tetap berusaha mengupayakan. Mereka tak berani protes karena kurangnya informasi. Seringkali orang tua wali dan siswa sekolah tidak punya posisi tawar di sekolah, hingga apapun kebijakan kebijakan sekolah akan mereka terima apa adanya, tanpa ada upaya untuk mengkritisi lebih jauh. Oleh karena itu forum-forum komunikasi ini menjadi penting untuk terus digalakkan.

Sosialisasi lain yang dia lakukan adalah dengan mengirimi surat ke sekolah-sekolah dan orang tua murid tentang tentang keberadaan Sarang lidi, profil dan apa yang mereka kerjakan sebagai bentuk sikap peduli terhadap pendidikan. Yuli dan beberapa rekan dari Sarang Lidi juga beberapa kali diundang untuk talk show di radio komunitas Satunama yang bertempat di Mlati-Sleman. Disitulah mereka bersosialisasi lebih luas. Di tahun 2010 ini mereka menargetkan 10% sekolah-sekolah di Yogyakarta memiliki wakilnya di Sarang Lidi.

Menurut Yuli Sarang Lidi tidak hanya melulu mengurusi soal korupsi atau pungli di sekolah-sekolah namun juga mengkritisi soal kualitas pendidikan, seperti pemerataan beban jam mengajar. Ada sekolah yang gurunya berlebih hingga terjadi pemborosan tenaga pengajar, namun juga ada sekolah-sekolah yang kekurangan guru. Hingga disini dia harus merangkap jam mengajar hingga berpengaruh pada kualitas belajar mengajar. Persoalan kualitas juga meliputi pengadaan buku, ada beberapa sekolah yang menjual buku yang seharusnya dibagi secara gratis, akhirnya buku hanya dibeli bagi mereka yang mampu saja. Di Ambon malah lain lagi, buku-buku subsidi dari pemerintah dibakar, agar sekolah bisa bikin proyek pengadaan buku.

Soal pendanaan untuk operasional Sarang Lidi, Yuli mengaku bahwa itu hanya berasal dari iuran pengurus dan juga orang tua siswa yang ikut tergabung di Sarang lidi. “Kami ini kan maunya kerja sosial, jadi ya kita berniat mandiri, kami sengaja tidak menerima danya dari pihak tertentu.” Ungkap Yuli

Dalam menjalankan tugas-tugasnya Sarang Lidi mengedepankan prinsip-prinsip kepedulian, keberanian, kebersamaan, kejujuran dan independen. Pengurus Sarang Lidi berkeyakinan dengan peyelenggaraan institusi pendidikan yang berkarakter bersih yang mampu melahirkan kader-kader bangsa yang tidak korup dan hipokrit.

Dari kiprah Sarang Lidi selama ini telah berhasil mengadvokasi kasus-kasus pendidikan yang ada di DIY seperti SD Giwangan, kasus seragam SMP Banguntapan, Korupsi di SMU 8, kekerasan terhadap siswa di SD Tukangan, dan juga kelompok Gangster di Banguntapan Bantul.

Mengumpulkan Aspirasi masyarakat dan orang tua, dialog dengan bupati dan walikota tentang masalah pendidikan, Audiensi dengan Musyawarah kerja kepala Sekolah Propinsi dan Kabupate/Kota, Dialog dengan guru sekolah, dialog dengan komite atau dewan sekolah, membuat rencana tindak lanjut terhadap masalah yang di identifikasi, penyadaran hak dan kewajiban orang tua dan masyarakat tentang pendidikan, serta Pemberdayaan Forum Komunikasi Pengurus Osis (FKPO) adalah beberapa daftar program kerja Sarang Lidi.

Tidak ada komentar: